Mohon tunggu...
Zakky Abdillah
Zakky Abdillah Mohon Tunggu... Editor - Zakky Abdillah

Masih Awam

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jadilah Pejabat Publik Berintegritas

9 Oktober 2019   11:19 Diperbarui: 9 Oktober 2019   11:27 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi pejabat negara atau pejabat publik merupakan posisi yang sangat strategis bagi sebagian orang. Bagaimana tidak, jabatan itu di kalangan masyarakat lain dinilai prestisius dan dihormati oleh para tetangga, kolega, saudara, dan para warga. Itulah mengapa banyak sekali orang ingin menjadi pejabat publik juga selain penghormatan yang diberikan, juga banyak materi yang sudah terjamin menjadi pemasukan di tiap bulannya.

Jabatan-jabatan publik yang diincar itu seperti kepala desa, kepala dinas kota/kabupaten, Walikota/Bupati, kepala dinas provinsi, sekda, ketua DPRD, ketua DPR, Gubernur, Menteri, bahkan Presiden. Semakin banyak diincar jabatan-jabatan tersebut di masa kini karena dianggap jabatan itu memiliki kewenangan yang luar biasa, yang hingga kita salah menggunakan kewenangan tersebut bisa jadi kita 'disekolahkan' di Suka Miskin.

Kenyataannya banyak sekali oknum pejabat publik itu yang 'disekolahkan' di banyak rumah tahanan. Seperti Menteri, Gubernur, anggota DPR, hingga sampai kepala desa tidak luput dari daya ciduk aparat penegak humum. Ada yang merasa malu dengan tindakan itu karena seluruh warga mengecamnya, ada juga yang masih merasa benar dengan tindakan korup yang Ia lakukan. Maka memang saya rasa perlu untuk 'disekolahkan' di rumah tahanan (rutan) Suka Miskin, rutan KPK, dll. Harapannya setelah disekolahkan mereka lulus menjadi insan yang sadar bahwa tindakan korup yang mereka lakukan itu menjadikan rakyat menjadi sengsara.

Perlu menjadi kunci adalah kesadaran para pejabat publik itu sendiri, mereka menjadi pejabat publik tapi tidak merasa sadar bahwa Ia adalah pejabat publik, yang seharusnya segala tindak lakunya dia selama menjadi pejabat publik hanya memiliki orientasi untuk publik, bukan membela kepentingan pribadi atau kelompoknya. Baik untuk membela kepentingan pribadi keluarganya saja, kepentingan golongan, partai politik, kepentingan bisnisnya, dsb. Kalau tidak begitu, saya kira mereka tidak layak disebut pejabat publik, tapi pejabat hawa nafsu.

Menjadi seorang pejabat publik memang tidak mudah, karena Ia harus memisahkan kepentingan publik (public affairs) dan kepentingan pribadinya. Karena ketika dicampur aduk akan ada konflik kepentingan dan memberikan efek yang luar biasa kepada masyarakat, seakan kebutuhan rakyat mendapat perlindungan dan pelayanan dari negara seolah dikhianati begitu saja. Untuk itu menjadi pejabat publik harus siap konsekuensi agar lebih memprioritaskan kepentingan publik di atas segala-galanya. Bahkan pemisahan ini juga yang melandasi Woodrow Wilson (presiden US ke-28) untuk mendikotomi antara administrasi negara dengan kepentingan politik (pribadi) agar para pejabat publik fokus untuk mengabdi kepada publik semata, bukan mengabdi pada kepentingan kelompok politik, keluarga, bisnis, dan kepentingan pribadi lainnya.

Potensi para pejabat publik untuk lebih mementingkan kepentingan pribadinya sangat besar sekali. Karena apa ? karena Ia sebagai pejabat publik memiliki akses kewenangan terhadap kepentingan pribadi masyarakat yang lain. Misalkan saja seperti legislatif yang melakukan pembagian anggaran kepada pos-pos program pemerintahan, melakukan kontrol, membuat aturan, dsb. Bagi pejabat publik yang kemaruk, hal ini menjadi sesuatu yang empuk untuk dipermainkan, diatur, agar apa yang diatur, apa yang dikontrol, dana yang dianggarkan, bisa menguntungkan mereka sendiri.

Misalkan saja baru-baru ini pemerintah pusat menetapkan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara menjadi Ibu Kota Baru menggantikan Jakarta yang sudah semakin ruwet setelah dilakukan beberapa kali kajian mendalam. Pejabat publik tentu terlibat di dalam proyek kajian pemindahan ibu kota tersebut untuk membahas kebijakan strategis nasional. Pastinya sebelum diumumkan kepada publik mereka sudah memiliki gambaran di mana letak IKN (Ibu Kota Negara) yang baru. Bagi pejabat publik yang tertuntut memenuhi hawa nafsunya pasti melihat kebijakan (yang belum diumumkan ke publik) sebagai ladang bisnis yang luar biasa. Mereka berbondong-bondong menjadi spekulan tanah di sana berharap tanah yang Ia miliki mendapat ganti rugi dengan harga yang berlipat. Atau bahkan sudah membeli tanah untuk membangun perumahan, apartemen, dan pusat perkantoran agar dengan tujuan keuntungan karena wilayah di sana akan menjadi pusat pemerintahan yang baru. Mungkin setelah 3 bulan dia sudah mendapatkan informasi kebijakan strategis itu baru kemudian Presiden mengumumkan setelahnya. Menarik bukan, para pejabat hawa nafsu ini memanfaatkan kepentingan publik hanya untuk kepentingan pribadi.

Ayolah sadar, para pejabat publik seharusnya sadar dan mengedepankan kepentingan publik di atas kepentingan pribadinya. Teringat dahulu para pahlawan nasional yang rela mengamputasi kepentingan pribadinya hanya untuk kemerdekaan bangsa dari kungkungan tentara kolonial. Banyak sekali para pahlawan yang demikian, seperti Tjut Nyak Dien, Diponegoro, Imam Bonjol, Pattimura, dsb.

Atau mungkin ada saja pihak yang menyangkal dengan bantahan, "itu kan dulu, sekarang kalau nggak begini nggak bisa makan bos, nggak bisa gaya, nggak bisa terpilih lagi periode selanjutnya". Okelah, ini semakin menunjukkan bahwa apa yang dikejar oleh para pejabat ini sungguh sangat rendah sekali, hanya sekadar makan, hanya sekadar penghargaan, hanya untuk sekadar terpilih lagi di tahun periode berikutnya.

Memang zaman sudah berubah, tetapi bukan berarti kepentingan publik atau masyarakat banyak kemudian menjadi punah. Bahkan kalau saya boleh memberikan contoh ilustrasi tokoh masa kini yang lebih mengedepankan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi, saya berani untuk menawarkan walikota Surabaya, Tri Rismaharini, sebagai pejabat publik yang mungkin dengan segala kelemahan yang dimiliki, tapi berusaha seoptimal mungkin agar segala tindak lakunya diorientasikan untuk kepentingan publik. Yang paling memberikan kesan bagi saya adalah saat Tri Rismaharini menutup lokalisasi Dolly di periode pertama kepemimpinannya. Dengan lokalisasi Dolly yang begitu memberikan dampak negatif bagi seluruh keluarga di Surabaya maupun bagi anak-anak, tidak ada jalan lain selain menutup lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu. Bahkan karena hal itu Ia mendapatkan banyak ancaman teror kepada dirinya sebagai pribadi maupun bagi keluarganya. Ancaman pembunuhan, penculikan, premanisme, dsb. tidak membuat gentar karena Ia adalah pejabat publik yang sadar bahwa Ia pejabat publik, bukan pejabat hawa nafsu. Di situlah pentingnya kesadaran seorang pejabat publik.

Teringat kisah yang disampaikan bapak Prof. Yusuf Irianto (Guru Besar Administrasi Negara Universitas Airlangga) dalam perkuliahannya tentang kisah negarawan Moh. Hatta yang membuat saya mencari fakta mengenai bapak proklamator pendamping Soekarno ini. Saat itu sedang ramai-ramainya kebijakan Sanering yang dilakukan oleh pemerintah saat itu untuk mengatasi krisis. Berbeda dengan redenominasi, kebijakan sanering ini dilakukan untuk memotong nominal mata uang menjadi lebih kecil sehingga nilainya berkurang. Tentu ini kebijakan terbaik yang harus diambil dan memberikan efek kepada masyarakat Indonesia saat itu, termasuk kepada Moh. Hatta.

Bagaimana tidak, Moh. Hatta yang setiap hari mengikuti proses formulasi kebijakan sanering bahkan dia sendiri yang mengumumkan kebijakan itu kepada publik harus menerima dampak juga bersama-sama dengan masyarakat. Padahal sebenarnya sang Istri (Ibu Rahmi) sedang menabung uang untuk membeli mesin jahit. Sampai-sampai sang istri pun protes kepada Moh. Hatta mengapa Ia tidak memberitahukan terlebih dahulu kalau nilai mata uang akan dipotong, kalau diberitahu lebih dahulu kan Ia bisa membeli berbagai macam keperluan rumah tangga, makanan, bahkan bisa dibelikan mesin jahit terlebih dahulu sebelum sanering dilakukan.

Namun, meskipun setiap hari bertemu dengan sang istri tetap saja Hatta tidak pernah menyampaikan apa saja rencana kebijakan yang akan diambil pemerintah khususnya dalam kebijakan pemotongan nilai mata uang ini. "Negarawan", begitu label yang disematkan oleh Prof. Yusuf Irianto kepada Moh. Hatta. Menurut Moh. Hatta tidak ada hubungannya antara kepentingan negara dengan kepentingan pribadi dan keluarganya.

Inilah yang bisa menjadi solusi di tengah pejabat publik yang lagi ramai-ramai korupsi, bahkan bersepakat untuk membentuk UU KPK yang agak ramah bagi pejabat korup, bahkan juga bersepakat untuk memilih komisioner KPK yang agak 'lembek' pada penindakan korupsi yang memilih untuk banyak mencegah. Ayolah para pejabat publik, sadarlah bahwa anda adalah pejabat publik, bukan pejabat hawa nafsu. Jadilah "Negarawan" yang menjadikan kepentingan publik/negara menjadi utama, bukan kepentingan pribadi, keluarga, bisnis, dsb.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun