Bagaimana tidak, Moh. Hatta yang setiap hari mengikuti proses formulasi kebijakan sanering bahkan dia sendiri yang mengumumkan kebijakan itu kepada publik harus menerima dampak juga bersama-sama dengan masyarakat. Padahal sebenarnya sang Istri (Ibu Rahmi) sedang menabung uang untuk membeli mesin jahit. Sampai-sampai sang istri pun protes kepada Moh. Hatta mengapa Ia tidak memberitahukan terlebih dahulu kalau nilai mata uang akan dipotong, kalau diberitahu lebih dahulu kan Ia bisa membeli berbagai macam keperluan rumah tangga, makanan, bahkan bisa dibelikan mesin jahit terlebih dahulu sebelum sanering dilakukan.
Namun, meskipun setiap hari bertemu dengan sang istri tetap saja Hatta tidak pernah menyampaikan apa saja rencana kebijakan yang akan diambil pemerintah khususnya dalam kebijakan pemotongan nilai mata uang ini. "Negarawan", begitu label yang disematkan oleh Prof. Yusuf Irianto kepada Moh. Hatta. Menurut Moh. Hatta tidak ada hubungannya antara kepentingan negara dengan kepentingan pribadi dan keluarganya.
Inilah yang bisa menjadi solusi di tengah pejabat publik yang lagi ramai-ramai korupsi, bahkan bersepakat untuk membentuk UU KPK yang agak ramah bagi pejabat korup, bahkan juga bersepakat untuk memilih komisioner KPK yang agak 'lembek' pada penindakan korupsi yang memilih untuk banyak mencegah. Ayolah para pejabat publik, sadarlah bahwa anda adalah pejabat publik, bukan pejabat hawa nafsu. Jadilah "Negarawan" yang menjadikan kepentingan publik/negara menjadi utama, bukan kepentingan pribadi, keluarga, bisnis, dsb.