Mohon tunggu...
Moderasi Info
Moderasi Info Mohon Tunggu... Penulis - Mari bernalar liar memenjarakan fikiran adalah awal mula kemunduran peradaban

Mari bernalar liar memenjarakan fikiran adalah awal mula kemunduran peradaban

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Untuk Mendapat Ilmu Pengetahuan, Sekolah Bukanlah Satu-satunya Pintu

14 Januari 2021   21:00 Diperbarui: 14 Januari 2021   21:03 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sekolah adalah wadah yang katanya diyakini sebagai wadah atau tempat berkembangnya pendidikan orang - orang, bahkan mungkin satu - satunya tempat yang formal dan orang tua anak tentunya berbondong - berbondong untuk menyekolahkan anaknya berharap masa depan sang anak bisa lebih terarah. mungkin kawan - kawan semua sudah faham yah sekolah yang saya maksud disini seperti apa. yah,,,,SD, SMP, SMA dan Universitas adalah wadah formal yang pemerintah sediakan untuk kita menuntut ilmu. 

tapi pernah tidak kawan - kawan berfikir jikalau sekolah formal seperti mengeluarkan produk yang memuaskan dan senada dengan nafas UUD Pendidikan yang secara rinci bunyinya seperti ini "pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual kegamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara". 

Melihat realitas sekarang, sekolah bukan lah lagi satu - satunya jalan suci tuk mewujudkan UUD diatas entah apa yang salah dari itu semua tapi menurut saya sistem pendidikan butuh permakan yang lebih serius. benar kata Margared Mead "nenekku menyuruhku berpendidikan tapi melarang ku sekolah" redaksi kalimat yang secara universal di bangsa kita mungkin tidak relevan karena konotasi orang memahami sekolah dan pendidikan adalah   sesuatu yang tak bisa terpisdahkan. tetapi kalimat tersebut bagi yang faham tentunya dapat menghadirkan konklusi bahwa memang untuk meraup pendiidkan tak senonoh sekolah yang saya defenitifkan di atas. 

Kondisi siswa atau mahasiswa sekarang mayoritas menjadi tenaga pendidik yang "taken for granted" apa - apa terima, apa - apa iya, segala apa yang disampaikan oleh tenaga pengajar mutlak kebenarannya sehingga ruang - ruang diskusi dikelas antara pengjar dan diajar terkadang tak hidup atau mati. "maha benar dosen dengan segala firmannya"  hahahha...... 

sekolah terlalu disibukkan dengan metode pembelejaran yang menurut saya memudurkan semangat dialektis antara pelajar dan pengajar. kita belajar karena standar kurikulum yang menurut saya membatasi pelajar untuk lebih plong dan liar belajar, sedikit saja kita keluar dari garis standar pembahasan dalam kurikulum sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang penting untuk dibahas.... (itu yang kualami) selama sekolah, sedikit kritis bak terlihat anarkis.

Ijazah yah ijazah....saya rasa alasan tepat dan menjadi sandaran hakikat untuk bersekolah. kualitas bukan lagi menjadi acuan. andai sekolah formal tak mencetak ijazah apa orang - orang mau bersekolah? saya rasa mustahil sih hal tersebut terjadi, pelabelan atau legitimasi ijazah adalah standar umum bagi kita bangsa Indonesia untuk mencari pekerjaan. Negara ini perlu bukti fisik seperti itu untuk mensertifikasi setiap orang dalam dunia pekerjaan bukan bukti kualitas wawasan intelektual orang yang jatuhnya ghaib...hahhaha............. 

Ivan Ilich dalam Bukunya Deschooling Society juga salah satu aktor kritikus di Austria yang juga melihat bahwa adanya kekeliruan dalam menggarap sistem pada setiap sekolah yang ada esensial ilmu pengetahuan bukan sesuatu yang penting lagi untuk didapatkan di sekolah. Menagapa sekolah dianggap dan diyakini sebagai sarana satu-satunya dalam mencari ilmu pengetahuan? Mengapa sekolah yang jumlahnya sedemikian menjamur dianggap sebagai jalan hidup bagi manusia modern? 

Mengapa mereka yang tidak sekolah berarti mereka dianggap terbelakang? Benar bahwa pendidikan merupakan upaya mulia dalam rangka memupus kebodohan dan memanusiakan manusia. Atas nama pembangunan dan perkembangan anak didik, benarkan sekolah merupakan wahana tunggal? Bukankah sekolah telah bergeser dari nilai-nilai keluhurannya tatkala ia menjadi ruang komoditi, pengetahuan dikemas-kemas dan dijajakan? 

Bukankah sekolah telah jadi tempat dehumanisasi--- proses penurunan martabat manusia? dan yang menariknya lagi dalam kritikannya beliau juga melihat kalau restorasi yang  tertuang dalam bukunya, "Deschooling Society" (Masyarakat tanpa sekolah) juga mengkritisi praktek kemapanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah.Sekolah di mata Illich tak ubahnya ibarat jalan tol. Mereka mampu membayar akan dengan leluasa masuk pada pendidikan di sekolah dan menikmatinya.

Dan itupun terjadi di bangsa kita, justru banyak dari kalangan bawah punya semangat belajar lebih malah terpangkas diawal sebab kantongnya tak mampu tuk membeli kursi belajar di sekolah.Benar bangsa ini punya butir Undang - Undang untuk memelihara pendidikan orang - orang miskin tapi tak bisa untuk kita nafikkan secara realitas 4.5 juta orang tersebar di seluruh pulau Indonesia tak mampu bahkan tidak mengenyam pendidikan karena finansial mereka tidak mampu bersaing.


(Zaki Muchtar)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun