Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Ambang Kepunahan Bahasa Daerah, Siapa yang Berjasa?

3 Juni 2017   06:46 Diperbarui: 3 Juni 2017   08:23 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pinterest.com

Di ambang Kepunahan Bahasa Daerah, Siapa yang Berjasa?
Oleh: Zaki Mubarak

Salah satu kekayaan atas negeri kita tercinta adalah Bahasa Daerah (BD) yang melimpah. Dari sabang sampai merauke, bukan hanya terangkai pulau-pulau yang indah, namun ada bahasa daerah yang menyertainya. Bila pulau itu adalah hardware maka BD adalah softwarenya. BD tertanam dan sangat melekat dengan ragam manusia Indonesia yang mengisinya secara unik dan menarik.

Bila negeri China memiliki kekayaan melumernya manusia dan luasnya daratan yang kaya dengan bahan-bahan langka di dunia, Indonesia tidak seperti itu. Indonesia memiliki laut yang luas, pulau yang beragam, bahasa yang berbeda, ras yang macam-macam dan budaya yang lebih dari ribuan. Andaisaja Indonesia bisa menjual perbedaan dan keunikan yang melimpah ini, maka bisa dipastikan Indonesia akan menjadi destinasi wisata yang menarik, sehebat Universitas Harvard yang menjual keunikan akademiknya.

Bukan karena gedung pencakar langit yang menjadi ikon negeri seberang atau kemodernan yang makin hari makin memuakan, Indonesia bisa menjual ragam budaya dan bahasa yang tak ternilai. Gedung melangit bisa dibuat dengan mudah, kehebatan materialisme ala negeri maju bisa diciptakan, kita hanya butuh dana besar. Itu saja. Tapi, kita tidak bisa membangun budaya hanya dengan uang, kita tidak bisa menciptakan bahasa hanya dengan satu tahun. Inilah kehebatan Indonesia di atas negeri lain.

Tapi, kehebatan ini sepertinya tidak dilirik oleh tuan rumahnya. Mereka tidak tertarik pada kehebatannya, malahan terpana pada kehebatan yang dimiliki orang lain. Orang bilang “rumput tetangga terlihat lebih hijau” sangat pas untuk kita yang lebih melohok pada kekayaan orang lain, daripada “isi dompet” sendiri. Mereka lebih gengsi menghabiskan melancong di negeri modern atau studi budaya milik orang lain ketimbang berbangga dan membanggakan budaya sendiri. Itulah kita.

Tulisan ini akan fokus pada satu topik budaya kita yang hampir punah, yaitu BD. Untuk lebih operasional, saya khususkan BD yang saya tahu dan kuasai sebagai native speaker yaitu Basa Sunda (BS). Karena saya harus konsisten dalam bidang saya (baca: bidang pendidikan) maka saya pun akan membahasnya tidak jauh dari relasi BS dengan pendidikan. Saya akan fokus lebih kepada aktor yang menjadi penyebab hampir punahnya BS dan aktor yang menyebabkan bisa tetap bertahan. Maksud punah di sini bukan punah beneran tapi hampir tidak digunakan lagi. Ia ada namun tak berenergi lagi.

Dua aktor berseberangan ini akan saya gali bersama dengan kegiatannya serta alasan logis yang bisa dijadikan sandaran, walaupun sandaran ini tidak sempurna. Pertama aktor yang berjasa bertahan dan langgengnya BS. (1) mereka adalah ajeungan kampung. Ajeungan atau dengan terminologi lain semisal kyai di Jawa bagian tengah dan timur, ustad di perkotaan, buya di wilayah Sumatra, atau istilah lain yang linier memilki peranan penting dalam mempertahankan BS atau BD.

Para ajeungan kampung inilah yang mampu mempertahankan eksistensi BS sebagai identitas lokal yang membudaya. Saya melihat setiap ajeungan di kampung menggunakan BS sebagai alat komunikasi yang paling serius dalam interaksi belajarnya. Mereka menggunakan ini bukan tanpa alasan. Hal yang utama adalah persentuhan mereka dengan dunia pesantren, dimana transliterasi keilmuan mereka dengan kitab kuning di lakukan dengan bahasa daerah masing-masing.

Saya tidak tahu alasan para ulama zaman dahulu memutuskan untuk mentranliterasikan kitab kuning harus kepada bahasa daerah. Apakah ini karena ada islamisasi budaya, atau karena tingkat pendidikan saat itu yang masih rendah? Maklum, dalam konteks sekarang, orang semakin berpendidikan, maka mereka semakin meninggalkan BD nya. Yang saya tahu seingatan saya, hampir di semua pesantren menggunakan BD sebagai alat interaksinya. Dengan jaringan yang sangat luas pesantren, maka Islam di berbagai daerah yang luas disampaikan dalam BD dan sepertinya menjadi obat paling mujarab dalam proses islamisasi.

(2) orang tua di pedalaman. Saya posisikan orang tua di nomor dua karena perannya tidak tidak seperti dalam pendidikan formal. Perannya melebihi dari peran apapun. Namun saya batasi orang tua ini adalah orang tua yang tinggal di pedalaman. Dalam kasus perkotaan, ini sangat beda dan akan di bahas di poin berikutnya.

Orang tua di pedalaman memiliki jaringan kekeluargaan yang sangat mengikat baik secara nasab (keturunan, geneologis) maupun komunitas (sosiologis). Di pedalaman, ikatan mereka sangat kuat untuk membuat sebuah komunitas, sehingga prilaku, bahasa dan keterampilannya relatif homogen. Untuk urusan bahasa pun mereka cenderung untuk menggunakan bahasa yang satu, yakni BD/BS. Bila ada anggota komunitasnya berbahasa lain semisal bahasa nasional apalagi bahasa asing, maka mereka akan di anggap di luar komunitasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun