Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahagia Sederhana Kita

1 September 2017   08:17 Diperbarui: 1 September 2017   09:21 1573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bahagia itu sangat relatif. Ia adalah software yang diinstalkan oleh Allah kepada setiap insan manusia berbarengan dengan kebalikannya; sedih. Bahagia tempatnya di dalam hati dimana setiap standarnya berbeda satu dengan lainnya. Bahagiapun ada yang mengandung prasarat ada juga yang tanpa syarat. Bahagia juga ada yang murah dan tak sedikit yang mahal. Itulah bahagia, ia merupakan hak semua manusia dengan segala dimensinya. Ia melahirkan makna hidup yang sesungguhnya.

Tulisan ini merupakan refleksi perjalan saya dari Tasik ke Kuningan dan melihat secara faktual ada macam-macam kebahagiaan yang dilakukan di masyarakat pedesaan. Kebahagiaan mereka saya identifikasi dengan istilah "sederhana" karena murah, tidak mewah, lucu dan menggairahkan. Kebahagiaan mereka bersifat komunal dan tidak dilakukan individual, sehingga semaraknya lebih kental ketimbang kualitas bahagianya sendiri. Bahagia di sini pun lebih didefinisikan sebagai akibat dari "hiburan" sederhana dengan dikaitkan dengan momen-momen sebagai kerangkanya.

Bahagia Komunal vs Bahagia Individual

Tujuan hidup bagi Aristoteles adalah mencapai kebahagiaan. Bagi masyarakat desa, kebahagiaan itu sangat sederhana dan mudah didapatkan. Bisa jadi setiap hari masyarakat desa akan dengan mudah mendapatkan kebahagiaan dengan murah meriah. Hal ini berbeda dengan masyarakat kota yang begitu "angkuh dan mewah" untuk menggapai kebahagiaan. Mereka akan sulit mendapat kebahagiaan manakala mereka tidak mengeluarkan uang yang banyak dan sifatnya individual.

Masyarakat desa menggunakan instrumen komunal (bersama-sama) untuk menggapai kebahagiaan. Bagaimana anak muda "nangkring" di got pinggir jalan saat sore tiba untuk sekedar bercengkrama dan "mengintip" gadis desa yang lewat di jalanan. Bagaimana juga orang tua berkumpul di pekarangan rumah untuk sekedar bersenda gurau. Biasanya "cawokah" (cerita lucu bertema seksual) menjadi tema yang tak pernah mati. Di malamnya juga, bagaimana para orang tua dan pemuda berkumpul di serambi mesjid untuk sekedar ngobrol sambil menunggu sholat Isya tiba. Mereka hangat dan terlihat bahagia.

Dalam konteks tahunan, kebahagiaan mereka pun didesain sedemikian rupa oleh tradisi yang memberdayakan semua masyarakat. Ada moment-moment tertentu yang dapat menjadi ajang menggapai kebahagiaan secara komunal. Dalam dimensi agama, Idul fitri adalah yang pertama dan utama disamping Idul Adha dan peringatan hari besat umat Islam (PHBI) lainnya. Dalam dimensi kenegaraan, perayaan HUT RI menjadi yang paling meriah disamping peringatan-peringatan kenegaraan (atau sifatnya lokal seperti hari jadi kabupaten) lainnya.

Sebab musabab bahagia pedesaan dilakukan secara komunal adalah beberapa hal. Pertama karena karakteristik desa yang homogen. Setiap individu anggota desa memiliki "kesamaan" dalam banyak aspek, sehingga mereka seolah menyatu dan sama untuk melakukan sesuatu. Kedua karena hiburan setiap individu tidak lengkap di rumah. 

Berbeda dengan masayarakat kota yang sangat individual, hiburan didesain dan disediakan oleh dirinya di rumah, sehingga mereka kenyang dengan hiburan dan tidak membutuhkan hiburan lain di luar rumah. Ketiga hidup mereka didesa saling tergantung satu sama lain. Mereka tidak takut anak usia 5 tahun diculik karena setiap warga memiliki tanggung jawab untuk menjaga bersama dalam komunitasnya. Mereka memiliki ikatan emosional yang besar dan sangat terikat.

Model Kebahagiaan Sederhana Masyarakat Desa

Model ini hasil dari pengamatan yang tidak deepest observation. Dengan mengamati dan merasakan sendiri bagaimana masyarakat desa menggunakan instrumen komunal dalam mencapai kebahagiaan, maka saya bisa menganggap model kebahagiaan ini dapat menjadi sebuah fakta yang berkerangka menjadi sebuah pola yang umum. Ada beberapa dimensi yang bisa jadi pola ini merupakan hal yang lumrah tapi kadang tidak disadari kehadirannya sebagai aspek yang membahagiakan.

Pertama dimensi hiburan rakyat. Di pedasaan Tasik dan sekitarnya, saya melihat tidak begitu menghiburnya acara "dangdutan" di acara pernikahan. Namun, setelah perjalanan saya ke Kuningan  dan ini berlaku di wilayah Cirebon, Indramayu dan Majalengka, terdapat kegiatan yang menurut akidah Islam kurang baik. Acara dangdutan pada acara pernikahan yang saya amati di wilayah ini seperti acara ritual yang harus ada. Bukan hanya dangdutan dengan tipe dangdut pantura, mereka menggunakan acara ini sebagai aktualisasi hiburan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun