Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mutu Guru, Siapa yang Menjamin?

14 Mei 2017   17:08 Diperbarui: 14 Mei 2017   17:33 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mutu Guru, Siapa yang Menjamin?
Oleh: Zaki Mubarak

Sejak saya menjadi guru, dari SD sampai perguruan tinggi, saya kurang “ngeuh” dengan jaminan mutu. Dulu, saya beranggapan bahwa lembaga penjaminan mutu adalah sosok yang kurang berarti dalam pendidikan. Mereka adalah lembaga yang powerfull yang dengan kekuatannya menyuruh-nyuruh, menegur, menyalahkan, dan menghakimi. Bagi pikiran saya dulu, mereka bak monster yang perlu dihindari, bukan dikalahkan.

Pikiran saya jadi berubah sejak memimpin “proyek” akreditasi, baik di tingkat sekolah maupun prodi dan institusi di perguruan tinggi. Borang yang saya isi dengan segala kesusahannya bahkan harus rela berbohong, menyadarkan saya akan pentingnya jaminan mutu. Hampir sepuluh kali saya harus berhadapan dengan asesor dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dan semuanya menghenyakkan pikiran saya, begitu pentingnya jaminan mutu untuk sebuah lembaga pendidikan.

Bagi yang paham, hasil akreditasi BAN-PT (atau di sekolah BAN S/M) berupa sertifikat akreditasi adalah sangat penting, bahkan lebih penting dari sekedar gedung sekolah dan gurunya. Ia bagaikan jiwa dalam raga, ruh dalam badan, dan nyawa dalam diri manusia. Proses sebaik apapun yang dilakukan oleh sebuah institusi pendidikan, akan menjadi tidak berguna manakala tidak atau belum diakreditasi. Bila ini terjadi, sekolahnya bak mayat tak bernyawa dan ijazahnya tidak berguna.

Nah, BAN-PT/S/M itulah lembaga penjamin mutu. Merekalah yang menjamin sebuah institusi pendidikan legal atau ilegal, baik atau tidak baik, di atas standar atau di bawah standar. Mereka ditakuti oleh semua institusi yang tidak siap, ia bagai siluman yang datang tak diundang, hadir tak diinginkan, dan pergi sangat menegangkan. Merekalah yang menghakimi sebuah institusi itu bisa bertahan atau dicampakan oleh masyarakat. Merekalah yang berhak menjamin, ya menjamin masyarakat untuk belajar di sebuah institusi pendidikan. Legal tidaknya sebuah lembaga tergantung dari selembar kertas yang dikeluarkan oleh lembaga ini.

Salah satu standar yang diuji pada mutu perguruan tinggi dan sekolah adalah standar sumber daya manusia (SDM). Mereka dibagi menjadi pendidik dan tenaga pendidik. Pendidik dalam konteks perguruan tinggi dipanggil dosen, sedangkan di persekolahan disebut guru. Perbedaan mendasar guru-dosen ini adalah pada letak kepakaran (expert) saja. Bila guru harus kompeten dalam bidang pedagogi, profesi, kepribadian dan sosial, maka dosen harus pakar dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (tridarma perguruan tinggi). Tenaga pendidik mereka yang membantu guru-dosen dalam melaksanakan tugas pokoknya.

Untuk urusan guru-dosen, yang selanjutnya saya sebut guru saja, maka perlu ada yang menjamin kualitasnya. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) adalah yang paling berwenang dalam urusan meningkatkan kualitas guru. Namun, faktanya LPMP adalah lembaga yang kecil dan disimpan di tingkat provinsi. Dengan SDM yang terbatas dengan tugas yang sangat luas, maka LPMP seperti punggung merindukan bulan. Satu lembaga kecil menjamin mutu semua lembaga pendidikan satu provinsi, ini tidak mungkin. Ujungnya, penjaminan dilakukan secara formalitas saja. Akhirnya, LPMP dianggap sebagai lembaga formalis yang tidak begitu dihargai sebagai sebuah institusi penjamin mutu.

Di tingkat kabupaten kota, LPMP telah menitipkan fungsinya kepada dinas pendidikan. Dinas pun sepertinya tidak terlalu fokus untuk menjamin guru ini, mereka menitipkan peran penjaminan mutu ini kepada MKS (majelis kepala sekolah, untuk sekolah) atau KKM (kelompok kerja madrasah, untuk madrasah). Untuk menjamin peningkatan mutu guru mata pelajaran, Dinas pun menitipkanya kepada KKG (kelompok kerja guru) atau MGMP (musyawarah guru mata pelajaran). Merekalah ujung tombak yang secara langsung membina, mengarahkan, meningkatkan dan berkolaborasi untuk mutu.

Adakah dana dan program khusus untuk organisasi disebut di atas?. Sesungguhnya saya tidak terlalu paham tentang kerja organisasi ini, tapi sesuai informasi dari kawan-kawan guru, dana dan program hampir bisa dikatakan tidak. Yang ada hanya stimulan pemerintah, itu juga terbatas pada kegitan-kegiatan tertentu saja. Apabila dipandang tidak ada yang patut dibicarakan, maka organisasi hanya tinggal nama saja. Saya tidak tahu benar atau tidaknya. Namun yang jelas, saya melihat kompetensi guru di lapangan lumayan tidak membanggakan. Setiap saya mengisi pelatihan guru atau mengisi perkuliahan yang isinya guru, kepala maupun pengawas, sepertinya asumsi itu benar adanya, walaupun saya tidak berani memukul rata.

Untuk guru di perguruan tinggi (dosen), saya justru tidak melihat adanya organisasi yang mengurus penjaminan mutu mereka. Ketika sudah menjadi dosen, maka ukurannya sangat sederhana yakni membuat Beban Kerja Dosen (BKD) dan melaporkan Laporan Kerja Dosen (LKD) isinya hanya menjelaskan kegiatan pengajaran, penelitian, pengabdian dan tugas tambahan. Tidak ada instrumen khusus untuk mengukur sejauh mana jaminan mutu dosen di pertahankan atau ditingkatkan. Dulu sempat ada program tahunan, dimana setiap dosen di short course kan untuk peningkatan kompetensi dosen. Sejak berganti penguasa, program itu raib. Saya mengira, bahwa LPMPnya kampus diserahkan pemerintah secara mandiri oleh pemerintah kepada kampus masing-masing.

Dengan kondisi dan situasi di atas, saya memiliki saran untuk peningkatan guru di tingkat akar rumput. Saran ini mudah-mudahan menjadi bagian sumbangsih yang konstruktif untuk mutu guru. (1) perlu adanya organisasi asosiasi dosen-guru setiap disiplin ilmu yang diajarkan di sekolah. Pertemuan mereka dalam sebuah asosiasi akan memudahkan interaksi expert (baca: dosen) dan ujung tombak sekolah (baca: guru) dalam meningkatkan mutu guru setiap disiplin ilmu. PGRI adalah asosiasi yang terlalu besar dan saya melihat terlalu banyak dibawa ke ranah politik. MGMP tidak mempertemukan dosen dan guru. Asosiasi ini dimungkinkan akan memiliki agenda tahunan dan bulanan yang tujuan utamanya meningkatkan mutu guru. Interaksi keduanya, saya yakini, sebagai kolaborasi patron-klien yang bermanfaat untuk mutu guru.

(2) optimalisasi pengawas mata pelajaran. Sebagaimana yang saya tahu, setiap dinas pendidikan atau pun majelis pendidikan madrasah memiliki pengawas, namun tenaga mereka terbatas. Formalitas datang ke sekolah sebagai supervisor banyak dilakukan secara general dan kadang menghilangkan ruh supervisinya untuk guru. Disamping itu, pengawas mata pelajaran sangat terbatas dan tidak merata. Alangkah lebih baiknya, pemerintah melakukan pemetaan ulang wilayah kerja pengawas dan lebih fokus kepada peningkatan mutu guru, bukan administrasi gurunya saja. Pengawas juga jangan hanya dijadikan ruang transit mantan kepala yang dimensi kinerjanya telah menurun, namun menjadi profesi yang benar-benar pelatih guru handal.

(3) materi peningkatan mutu harus mencakup pada tiga hal yakni (a) penyadaran alam bawah sadar guru. Hipnoteaching adalah salah satu bahan yang harus diajarkan, karena dengan begini guru akan mampu menjadi guru yang menggugah. Mereka akan mampu membangunkan alam bawah sadar siswa sehingga proses belajar akan lebih baik, motivasi akan meningkat dan aktifitas pun akan menyenangkan. Pelatihan hipnoteaching adalah cara paling bagus untuk membangun kemabali alam bawah sadar guru-siswa.

(b) pelatihan metakognitif. Metakognitif adalah pengetahuan cara mendapatkan pengetahuan. Mayoritas guru tidak memiliki pengetahuan ini, sehingga guru datang ke kelas hanya untuk menyampaikan ilmu dan ketika bel berbunyi, maka selesailah. Nah, guru penting untuk mengetahui bagaimana otak bekerja (brain-based leraning). Pelatihan berbasis neuroscience adalah cara yang paling baik untuk melatih guru untuk mengetahui kecenderungan siswa untuk belajar, dan guru akan dapat menyelesaikan masalah perbedaan gaya belajar siswa.

(c) pelatihan self-emotional-spiritual theraphy. Pelatihan ini memiliki maksud bahwa guru harus mampu memberikan terapi-terapi yang berlandaskan kepada emosional (psikologis) dan spiritual (agamis) untuk menyelesaikan masalah belajar siswa. Bagaimana teknik pijit terapi fisik yang sangat berhubungan dengan kerja otak dan hati harus diajarkan. Tujuannya, ketika belajar, guru tidak hanya fokus menyampaikan materi tapi melihat masalah yang hadir di setiap anak, seperti bosan, lelah, tidak fokus dan penyakit olohok ngembang kadu.

(d) pelatihan asosiatif-konektifitas. Pelatihan ini adalah untuk melatih guru menyederhanakan konsep yang rumit ke analogiyang sederhana. Analogi-asosiatif ini akan mudah dicerna dan dimengerti oleh siswa. Asosiasi ini akan mengkoneksikan semua ilmu yang telah dipelajari oleh siswa sehingga pelajaran satu akan terkoneksi dengan pelajaran lainnya.

Empat hal ini perlu dipelajari oleh guru dan guru pun harus menguasainya, bukan hanya hadir di pelatihan saja. Ini memang sulit dan membutuhkan pelatihan berhari-hari. Tapi kemampuan hasil pelatihan ini akan menjadi investasi seumur hidup yang membaikan siswa kita dan tentu saja pendidikan kita.

(4) evaluasi mutu harus dijaga oleh pemerintah. Bila pemerintah telah mengeluarkan sertifikat pendidik sebagai legalitas menyandang profesi guru, itu tidak cukup. Walaupun sertifikat ini seumur hidup, daya kontrolnya hampir tidak ada. Mungkin bila kita melihat kemampuan bahasa Inggris seseorang, maka dia harus ikut test TOEFL. Sertifikat TOEFL hanya dibatasi dua tahun, dan kemampuan bahasa Inggris dia harus diuji ulang menggunakan TOEFL dua tahun kemudian. Bisa lebih baik, bisa menurun. Itu sama dengan mutu guru.

Nah, pemerintah apabila berat untuk melakukan itu seberat melaksanakan Uji Kompetensi Gur (UKG), maka asosiasi yang disebutkan di point pertama bisa menjadi mitra valid untuk mengurusi sertifikat kompetensi guru. Jadi point ke dua dan tiga akan dilakukan dengan baik karena dua instrumen inilah yang akan membantu guru untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu dua tahunan. Setiap dua tahun, guru akan ditest ulang, walaupun sistemnya jangan dibuat seperti monster.

Jika guru bermutu, siswapun bermutu. Jika siswa bermutu maka generasi penerus bangsa bermutu. Jika generasi penerus bermutu, maka bangsa pun bermutu. Jika bangsa bermutu, maka negara pun bermutu. Jika negara bermutu, maka kualitas hidup pun bermutu. Ingat, Kualitas hidup di dunia yang pendek akan menentukan kualitas hidup di akhirat yang sangat panjang.{}

Aku bangga menjadi guru bermutu, Kamu?
Bumisyafikri, 14/5/17

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun