Mohon tunggu...
Zaki Fahminanda
Zaki Fahminanda Mohon Tunggu... Lainnya - Honesty is a very expensive gift. Do not expect it from cheap people

Kombinasi Semangat dan Etika

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rasisme, Amerika, dan Kompleksitasnya di Beberapa Negara

14 Juni 2020   23:38 Diperbarui: 15 Juni 2020   10:44 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstran memadati Portland, Oregon, Amerika Serikat, pada Jumat (29/5/2020) untuk memprotes pembunuhan George Floyd. | Sumber: SIPA USA/JOHN RUDOFF via REUTERS

Dulu, seorang petinggi negara Jerman, Adolf Hitler (1889-1945), dengan segala kelebihan dan kekurangannya mempunyai pandangan rasisme yang lebih lebar jika dibandingkan dengan pola pikir masyarakat kulit putih Amerika saat ini.

Sang Fuhrer berpendapat bahwa dirinya dan rakyat Jerman yang mayoritas ras Arya adalah bangsa yang berkedudukan paling tinggi dibandingkan ras-ras lainnya, meski punya warna kulit yang sama. 

Bahkan Hitler mengobarkan prinsip race purity atau kemurnian ras Jerman di tengah-tengah masyarakatnya. Konsekuensinya adalah selain ras Arya, ras lainnya harus dihancurkan, terutama Yahudi.

Kenapa Yahudi? Selain dendam pribadi masa lalu, Hitler sangat membenci Yahudi karena pernah membaca buku suci Yahudi (Protocol Of The Elder Of Zion), yang menyebutkan bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa paling bermartabat di dunia. 

Jadi, pada intinya baik Hitler dan bangsa Yahudi, dua-duanya sama-sama rasis, dengan mengatakan bahwa bangsa merekalah yang paling tinggi derajatnya dan terbaik di dunia.

Setelah Eropa, rasisme juga terjadi di benua Afrika. Tepatnya di Negara Rwanda, yang melibatkan etnis Tutsi dan Hutu. Meski mempunyai warna kulit yang sama, tetapi unsur rasisme yang ditanamkan kepada kedua suku ini sejak lama mengakibatkan munculnya benih-benih kebencian antara satu dengan yang lain.

Suku Tutsi selama puluhan tahun dipekerjakan sebagai pekerja "kerah putih" oleh penjajah Belgia karena dianggap lebih "Eropa" secara fisik dari pada suku Hutu. Hal ini memunculkan kecemburuan sosial dari Suku Hutu yang hanya dipekerjakan sebagai pekerja "kerah biru".

Kecemburuan sosial yang berlarut-larut dan berlangsung cukup lama di Rwanda, akhirnya menimbulkan efek yang sangat mematikan. Ketika Belgia menghentikan kolonisasinya di Rwanda, suku Hutu yang merupakan suku mayoritas langsung mengambil alih pemerintahan dan segera melakukan aksi pembalasan.

Aksi pembalasan yang dieksekusi dengan pembersihan Negara Rwanda dari Suku Tutsi tersebut, mengakibatkan korban jiwa sebanyak 800.000 ribu orang. Sebuah genosida yang akhirnya ditandai sebagai salah satu pembantaian etnis terbesar di dunia.

Tidak ada akhir yang baik dari pemahaman rasisme ini, baik dari sisi individu maupun kelompok. Rasisme yang lahir dari ketidakmampuan menerima sebuah perbedaan justru akan membatasi kemampuan dari seorang individu dan kelompok untuk berkembang dan berinovasi. 

Karena dunia yang dihuni oleh ratusan bahkan ribuan etnis dan suku bangsa sudah semestinya dipandang dengan sudut pandang keberagaman, bukan keseragaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun