Mohon tunggu...
Zakharias Lusi Ujan
Zakharias Lusi Ujan Mohon Tunggu... Lainnya - DUC IN ALTUM

Ny toerana dia Mangina fa Misy Tompony

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ada Calon Independen dalam "Kotak Kosong"

1 Agustus 2020   13:02 Diperbarui: 1 Agustus 2020   12:59 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: nontsopnews.id

Memang menarik mencermati pencalonan Gibran-Teguh,   untuk maju dalam pilkada kota Solo. Pencermatan politik itu, menunjukan semua  spekulasi politik dan alasan mengapa Gibran terjun ke dunia politik.

Untuk itu, kita tidak boleh melewati semuanya itu, tanpa tidak mengetahui dan mengenal "visi-misi" pasangan ini. Hal itu yang sungguh mengungkapkan niat politik mereka yang mulia. Bagi Gibran, "menggaji-menghidupi pegawai, lalu ada dana CSR menbantu masyarakat" adalah hal yang wajar. Karena merupakan kewajiban. Tapi itu dirasakan Gibran tidak cukup. Jadi kalau mau menyentuh lebih banyak lagi orang maka kita harus terjun ke dunia politik".

Visi-misi politik  pasangan Gibran terungkap dengan jelas dalam tiga poin ini. Yang pertama, bisa menolong banyak orang miskin dengan lebih maksimal. Yang kedua, mempunyai dana operasional dan dapat dengan leluasa membantu orang miskin. Yang ketiga, bisa langsung membantu warga sesuai dengan kebutuhan dan masalahnya.  Inilah yang nanti dikerjakan kalau pasangan ini terpilih.

Namun belakangan ini, rasanya politik demokrasi di kota Solo semakin dinamis. Dinamika demokrasi memang satu keniscayaan. Maka setidaknya mulai terasa hangat memanas dengan  munculnya  calon-calon independen. Mereka muncul mendadak.  Mereka merupakan  pesaing- pasang Gibran di ajang pemilihan tersebut. Mereka hendak memastikan bahwa "Kotak Kosong"  itu nanti ada isi, ada muatannya. Maka mereka muncul, meski tiba-tiba. Kelihatanya, mereka merupakan  wajah dan nama baru yang "tidak populis"  di bidang politik.

Tujuan pencalonan mereka yakni supaya ada tandinganan di antara calon-calon di ajang pemilihan itu. Mereka muncul tepat di musim politik pemilihan wali kota Solo. Wajah baru calon-calon itu seperti pasangan "Bajo", Bagyo Wahyono -- F.X. Supardjo. Bajo adalah pasangan calon independen. Calon pasangan independen itu berprofesi sebagai penjahit di kampung dan ketua RW.

Dari Tribun Solo dikabarkan bahwa pasangan independen ini sudah memenuhi persyatan yang diminta. Dikabarkan kalau calon pasangan ini sudah mendapat 41 ribu KTP  sebagai dukungan  mereka. Yang menjadi visi-misi mereka adalah "sandang, pangan dan papan".  Mereka menegaskan bahwa keadilan belum merata dan bahwa masyarakat menginginkan perubahan. Sejauh mana pasangan Bajo ini dikenal dan mengenal Solo dan masyarakatnya?  Bajo menggarisbawahi  hal itu dengan menegaskan diri mereka  sebagai anak-anak Solo yang sering berjalan berkeliling. Artinya mengenal dengan baik wilayah kota Solo dan masyarakatnya.

Di samping pasangan Bajo ada juga pasangan lain di jalur independen yakni Ahmad Abu Yasin dan Muhamad Ali. Pasangan ini berasal dari komunitas pesantren. Mereka sudah mengumpulkan 35.870 suara yang siap mendukung mereka untuk pertarungan politik ini. Mereka berani bertarung melawan dominasi partai politik PDIP dan partai lainnya.

Nama lain yang disebutkan juga adalah  Putri Woelan Dewi Sari, anak keraton.  Dia adalah cucu dari Sultan Hamengkubuwono IX. Woelan sedang dalam  usaha mencari dukungan dari partai-partai politik. Kabarnya, dia sudah bersilahturahmi ke Partai Keadilan Sosial (PKS). Sebagai anak Solo, Woelan merasa terpanggil, dan berhasrat melayani masyarakat di daerahnya.

Tentang calon ini, ada yang menilainya sebagai calon tanding  biasa. Terkesan muncul tiba-tiba juga. Tetapi menurutnya, dia juga adalah seorang warga masyarakat Indonesia yang memiliki hak dan kesempatan untuk boleh terjun ke dunia politik di bumi NKRI ini.  Woelan menyadari bahwa  tidak mudah mengambil hati rakyat. Hal itu diperlukan perjuangan dan doa. Woelan juga bersedia untuk menjadi  wali kota ataupun wakilnya. "Semua itu tergantung pada amanah   masyarakat", katanya.

Dari perkenalan akan tokoh-tokoh calon yang ingin juga maju dalam konstelasi politik di Solo, mereka itu tentu bukan anak-anak partai tertentu, atau kader-kader yang sudah mendapat pendidikan politik secukupnya. Mereka adalah wajah-wajah baru meskipun  mereka semua adalah anggota masyarakat demokrasi.

Mereka menyatakan diri siap untuk menantang Gibran dalam pilkada wali kota Solo. Mereka hendak berpartisipasi di ajang pilkada wali kota Solo agar "Kotak Kosong" itu tidak sungguh kosong. Keniscayaan demokrasi dan dinamikanya membuka pintu dan peluang untuk kemenangan dan kekalahan.  Kedua hal terakhir ini berada di tangan rakyat. Rakyat mempunyai hak untuk memilih dan menentukan. Baik pasangan Gibran maupun calon-calon pasangan independen yang mengisi "Kotak Kosong",  wajib siap menerima hasil konstelasi demokrasi. Akhirnya, demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Lalu, siapa yang lebih demokratis? Salam Demokrasi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun