Mohon tunggu...
MUHAMAD ZARKASIH
MUHAMAD ZARKASIH Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Politik

Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pembahasan RUU HIP: Batalkan, Bukan Tunda

10 Maret 2021   07:07 Diperbarui: 10 Maret 2021   07:25 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penolakan terhadap Rencana Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) makin hari makin terasa gencar. Di beberapa daerah telah terjadi aksi massa, di samping makin banyak juga para politisi dan ahli hukum tata negara yang menyampaikan pendapatnya dalam koridor ketidak-setujuan atas RUU HIP itu. Pendapat-pendapat itu makin memperkuat semangat para penentang RUU HIP, sebab mereka jadi lebih faham di dalam memandang RUU HIP dari sudut keilmuan. Sehingga bukan hanya emosi yang mereka miliki, tetapi juga kesadaran secara ilmiah.

Terlepas dari terjadinya beberapa insiden pada massa aksi menuolak RUU HIP -- seperti pembakaran bendera sebuah partai politik atau gesekan antara pengunjuk rasa dan aparat - gerakan massa yang masif itu makin menunjukkan kepada kita dimana akhirnya posisi RUU HIP itu; bukan di hati dan keinginan rakyat secara mayoritas.

Resistensi yang kuat terhadap RUU HIP ini tak lepas dari beberapa bagian di RUU itu yang dianggap minim urgensi dan kehilangan kontekstualitas dengan waktu saat RUU ini dibicarakan di DPR. RUU HIP tidak penting untuk dibicarakan saat ini, pada saat seluruh anak bangsa tengah sibuk menghadapi wabah Covid-19. 

Selain itu -- ini yang paling pokok -- ada beberapa pasal di RUU itu yang dianggap akan mereduksi eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara. Pengajar hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti mengatakan RUU HIP banyak mengandung pasal-pasal yang tidak lazim, yaitu hanya bersifat pernyataan, definisi, hingga political statement. 

Menurut Bivitri, norma hukum biasanya mengatur perilaku dan juga kelembagaan. Di dalam UU, ada pasal 'siapa melakukan apa' dan bukan pernyataan-pernyataan. Memang biasanya ada pasal definisi dan asas, namun setelahnya ada pasal-pasal mengatur perilaku.  Maka Bivitri memandang ini tidak lazim.

Para pengusung RUU HIP memang sangat yakin jika RUU sangat dibutuhkan saat ini.  Di dalam Naskah Akademik RUU HIP dijelaskan kalau RUU HIP dibuat "sebagai pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila." (Hal. 59). 

RUU HIP juga dianggap layak dirancang karena "hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara." (Hal. 96). Namun justru point-point itulah yang dianggap mereduksi -- bahkan mendegradasi -- kedudukan Pancasila itu sendiri. Tujuan utama perumusan RUU HIP makin menjadi tidak jelas. Problem lainnya adalah redaksional pasal-pasal yang sangat normatif dan multitafsir.

Seperti banyak diungkap bahwa keberatan para penolak RUU HIP adalah lebih kepada kekhawatiran munculnya kembali PKI atau ajaran komunis. Narasi itulah yang terus digemakan di dalam setiap aksi unjuk rasa. Pemerintah memang telah mengambil sikap untuk merespons gelombang aksi penolakan terhadap RUU HIP, yakni dengan meminta kepada DPR-RI untuk menunda pembahasan RUU HIP. 

Namun apakah itu mampu meredam ekskalasi penolakan yang ada? Ternyata tidak. Beberapa hari setelah Pemerintah memberikan sikapnya, justru ekskalasi penolakan makin kuat. Aksi massa menyebar di beberapa daerah, bukan hanya di Jakarta, juga bukan hanya terjadi pada level media sosial. Gerakan penolakan itu lebih terlihat nyata, lebih dari sekedar kegenitan di ujung jari para pengguna media sosial.

Penundaan pembahasan RUU HIP hanya menunda eskalasi penolakan dari masyarakat sipil. Bagaikan memberi permen atau ice cream untuk meredakan tangisan seorang anak. Seperti mengoles balsem di bagian tubuh yang sakit. Si anak hanya berhenti menangis sejenak, lalu akan menangis lebih keras lagi. Balsem hanya memberi efek panas -- mengalihkan rasa sakit lewat panasnya balsem -- namun sama sekali tak menyembuhkan rasa sakit. 

Dalam konteks aksi penolakan terhadap RUU HIP, maka penundaan pembahasannya di DPR hanya akan menumbuhkan kekecewaan yang makin besar, yang bukan tidak mungkin bisa memicu gelombang penolakan yang lebih besar, yang kemudian bermuara pada terganggunya stabilitas nasional. Oleh karenanya, pembatalan pembahasan RUU HIP merupakan solusi yang tepat. Terlalu mahal ongkos sosial dan politik yang harus dibayar jika DPR memaksakan kehendaknya, yang jelas-jelas ditentang oleh rakyat secara mayoritas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun