Mohon tunggu...
MUHAMAD ZARKASIH
MUHAMAD ZARKASIH Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Politik

Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Perempuan dalam Pusaran Radikalisme

25 Februari 2021   11:58 Diperbarui: 25 Februari 2021   12:13 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sejarah panjang radikal selalu bernuansa maskulin dengan melibatkan lebih banyak laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Radikalisme lebih menyajikan tugas-tugas laki-laki yang menekankan pada aksi heroisme. Aksi ekstrem radikal yang memiliki elemen kekerasan dan ancaman kekerasan kini bukan lagi hanya dominasi eksklusif laki-laki. Perkembangan mengejutkan terjadi pada peningkatan keterlibatan perempuan dalam kelompok radikal yang angkanya semakin meningkat.

Keterlibatan perempuan dalam aksi radikal dan terorisme sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru. Catatan penelitian menunjukan keterlibatan perempuan telah dikenal bahkan sejak Revolusi Rusia. Kasus pertama pelaku bom bunuh diri perempuan ditemukan pada tahun 1985 olehbseorang gadis asal Lebanon yang masih berusia 17 tahun, Sana Mahaydali.

Gerakan-gerakan radikal atau ekstrem pada beberapa tahun terakhir menunjukan gejala peningkatan aktivitas para perempuan. Selama puluhan tahun, perempuan terbukti lebih keras daripada laki-laki dalam hal terorisme, seperti yang terlihat pada perempuan Army of the Chechen Republic (Chechnya), Basque Homeland and Liberty Organization (Spanyol), Japanese Red Army maupun Baader-Meinhof Gang.

Di Indonesia, gerakan radikalisme oleh para perempuan memiliki ciri yang khas, yang mungkin tidak terdapat di gerakan-gerakan radikalisme di bagian lain di dunia ini. Perempuan di Indonesia menjadi subjek sekaligus objek yang terlibat dalam aksi terorisme. Sebagai objek, para perempuan terlibat karena peran keperempuanan mereka yang termanfaatkan (tereksploitasi) dan didukung oleh adanya hubungan suami isteri. Peran mereka disalahgunakan untuk mendukung dan melancarkan aksi terorisme yang dilakukan oleh suaminya atau jaringan terorisme tertentu yang memiliki keterkaitan dengan suami mereka sebagai pendukung atau pelaku teror. Keterlibatan mereka sebagai objek masih sebatas pendukung aktif dan pasif. Ciri yang khas inilah yang justru membuat para perempuan di Indonesia lebih mudah terlibat di dalam gerakan radikalisme atau ekstremisme; bahwa mereka dituntut untuk patuh kepada suaminya. Doktrin agama yang memerintahkan isteri patuh kepada suami menjadi landasan para ekstremis pria mengajak para isterinya.

Fenomena khas ini sangat menarik, sekaligus merisaukan kita. Fenomena ini menyita . Namun, menurut peneliti Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Navhat Nuraniyah, tren ini sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Trend ini bisa dilihat sejak ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) berdiri pada 2014-2015. Navhat menyebut, ISIS pun kemudian mengeluarkan instruksi yang membolehkan perempuan melakukan aksi teror secara fisik pada sekira Oktober 2017 silam. Trend ini kemudian terlihat di Indonesia, ketimbang di kawasan lain seperti di Mindanao, Filipina Selatan.

Meningkatnya gerakan radikalisme oleh para perempuan ini tentu saja sangat berbahaya dan berpotensi menyasar ke anak-anak, mengingat seorang ibu di dalam kesehariannya lebih dekat kepada anak-anak. Pola pemahaman yang keliru yang didapat oleh seorang ibu diluar, akan mudah disusupkan kepada anak-anak mereka, sehingga anak-anak akan menganggap pemahaman yang keliru menjadi sebuah kebenaran yang mutlak.

Salah satu faktor terpenting di dalam usaha pencegahan keterlibatan perempuan di dalam gerakan radikalisme adalah pengawasan aktivitas para perempuan itu di dalam mengikuti pengajian. Para perempuan harus diberi pemahaman dan nalar yang logis dan realistis atas narasi-narasi yang mereka dapatkan di pengajian-pengajian. Bahwa ada input besar juga dari media internet yang bisa mempengaruhi mereka, tetap saja yang utama adalah faktor interaksi mereka dengan sesama jamaah dan guru di pengajian. Interaksi secara langsung jauh lebih mempengaruhi dibandingkan dengan interaksi dengan media internet.

Para guru yang memberikan pengajaran juga selayaknya memahami bahwa tidak semua jamaah bisa menangkap maksud tersurat dan tersirat di dalam sebuah pelajaran. Maka seharusnya mereka juga lebih bijak dalam mengajar agama. Tidak sekedar bersikap keras -- untuk memperoleh tepuk tangan karena dianggap berani -- tetapi juga memahami bahwa sebuah ajaran kebaikan harus pula disampaikan secara baik, sehingga tidak memunculkan pemahaman yang keliru.

Satu hal yang juga penting adalah, kepada para isteri harus diberikan keyakinan bahwa tidak selalu apa yang diperintahkan oleh suami harus dipatuhi. Bukan berarti ini mengajak isteri melawan suaminya. Semestinya ada filter yang kuat dari seorang isteri untuk membaca perintah seorang suami. Sebab agama pasti melarang seorang isteri mematuhi dan menjalani perintah salah seorang suami.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun