Mohon tunggu...
Zain Wirasena
Zain Wirasena Mohon Tunggu... Lainnya - Football Blogger

Pemuda Asal Tangerang Selatan, menuntut ilmu sepakbola dan futal dari dunia borderless dan dinamik. Berkreatif juga di laman Instagram @zainfootball mengkurasi tentang sepakbola Asia Tenggara. Pernah berkecimpung jadi Manajer, Pelatih, sampai Direktur Teknik beberapa masa lalu.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Fenomena "Copot Gawang" di Perkotaan

2 Maret 2021   20:31 Diperbarui: 2 Maret 2021   21:14 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena "Copot Gawang" di daerah perkotaan

oleh Muhammad Zain Wirasena

Kota adalah generator alami dari keanekaragaman dan inkubator produktif dari segala jenis gagasan dan usaha baru. perkotaan tidak berbentuk, tidak berbentuk, dan tampaknya tidak terbatas. 

Kota menjadi tempat meleburnya ras dan budaya. Dari heterogenitas yang ada di kehidupan kota menimbulkan banyak problema seperti ketegangan, kontradiksi sampai kriminalitas. 

Pembangunan olahraga di kota menjadi kunci untuk membuat titik temu antar setiap individu di kota.  Melalui olahraga, ikatan antara komunitas dibangun dalam ruang olahraga publik. Ruang olahraga publik dibangun sebagai wadah atas tujuan pemersatuan sosial dan ide antar masyarakat untuk menciptakan tujuan serta ikatan yang sama.

Namun, apa jadinya jika ruang olahraga di kota dibatasi?

Fenomena unik ini penulis temukan di kota Tangerang Selatan, lapangan yang biasanya dipenuhi aktivitas olahraga dipaksa diberhentikan oleh beberapa tokoh dengan cara mencabut ring basket dan menghilangkan gawang atau penulis menyebutnya sebagai copotgawang. 

Alasannya sudah jelas copotgawang dilakukan sebagai langkah preventif penyebaran virus corona di area lingkup tempat tinggal. Fenomena ini uniknya memang tidak menyebar di seluruh kota. 

Namun, ini hanya terjadi di perumahan elit dan perumahan menengah saja di area kota. Kegiatan olahraga secara massal dan berkelompok mirisnya masih dilakukan di kampung kota maupun pinggiran kota dikala eskalasi kasus infeksi virus corona yang meninggi di kota Tangerang Selatan.

Yang jelas fenomena copotgawang hadir bukan hanya dari pandangan olahraga, namun di sini bisa dianalisis secara kacamata politis, bahwa terjadi ketimpangan pencegahan virus corona di kota. Mengapa? Pemerintah kota sudah secara sigap mendesentralisasikan dan mensinergikan penanganan penyebaran virus corona di lingkungan Rukun Warga dan Rukun Tetangga. Apabila kegiatan yang bersifat kumpul-kumpul masih terjadi di lingkungan itu, akan terjadi kegagalan penanganan di lingkup terkecil provinsi yaitu RT dan RW.

Sejatinya selama pemberlakuan PSBB maupun PPKM, dilakukan penghentian sementara atas kegiatan sosial dan budaya yang menimbulkan kerumunan orang yang mana tertuang pada pasal 16 pada Peraturan Walikota Tangerang Selatan Nomor 13 Tahun 2020. 

Kegiatan sosial dan budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula kegiatan yang berkaitan perkumpulan atau pertemuan: a. politik; b. olahraga; c. hiburan; d. akademik; dan e. budaya.  Olahraga diperbolehkan namun dilakukan secara mandiri dan tidak berkelompok; dan dilaksanakan secara terbatas pada area sekitar rumah tinggal. 

Lingkungan kampung kota dan pinggiran kota masih sangat apatis sekali dengan apa yang dinamakan "virus corona", mereka seringkali masih berpikir virus itu hanya ada di tengah kota saja. 

Dengan hadirnya ketimpangan menangani penyebaran virus di kota hanya akan menimbulkan ketidakseimbangan dan penanganan yang sia-sia di level bawah. Apabila akses lapangan olahraga dibuka pada masa ini dapat berdampak pada kesehatan, dan pendapatan masyarakat. 

Akibatnya, penduduk kota yang paling miskin, yang tinggal di kampung kotal, mengalami risiko kesehatan tinggi dan semakin berpengaruh pada pendapatan mereka karena harus terisolasi akibat terjangkit corona. 

Fenomena #copotgawang ini merupakan langkah konkret kemanusiaan yang tepat guna dan berhasil di area perkotaan, dan ini merupakan tindakan yang berdasarkan murni kesadaran dari pemimpin masyarakat untuk mementingkan kepentingan umum di area lingkungan terkecilnya. 

Copot gawang agaknya cara yang jitu untuk mengendalikan kerumunan orang di area lingkungan RT RW dalam langkah preventif penyebaran virus corona. copotgawang  juga menjadi kemenangan atas ego-ego pribadi di masyarakat. 

Mengapa saya sebut sebagai keberhasilan? karena untuk menciptakan dan melaksanakan kebijakan perlu pengelolaan dan kesadaran yang baik di setiap level: individu dan pemerintah, di kasus ini copotgawang menjadi keberhasilan sinergitas pemerintah dan individu di lingkungan kota karena masyarakat mampu menerjemahkan dan melaksanakan kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk kemaslahatan warga.

Memang agaknya fenomena ini terlihat mengekang hak-hak untuk bermain namun dibalik hal itu terselingkup kepentingan yang lebih besar lagi, yaitu kepentingan keselamatan umat manusia banyak. Pada akhirnya langkah copotgawang menjadi hal yang baik untuk dilakukan di lingkungan terkecil pada masa kritis seperti ini. Lebih baik mencegah dari pada mengobati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun