Mohon tunggu...
Jay Z. Pai
Jay Z. Pai Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menulis saja

suka musik dan jalan - jalan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tiga Pelajaran Hidup dari KH Abdurrahman Latukau, Lc

17 Februari 2021   19:10 Diperbarui: 17 Februari 2021   19:15 1405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat itu matahari di Kota Manado sudah menjulang tinggi, tandanya hari sedang menuju siang. Kami baru tiba di depan rumah kecil tepat pinggir jalan. Sadar akan hal itu, secepatnya kami masuk dan mengetuk pintu.

"Asalamualaikum, Pak Kiyai ada?" tanya kami. Tidak berselang lama terdengar balasan dari dalam rumah. "Walaikumsalam, ini yang mau belajar dengan Pak Kiyai ya, Pak Kiyai sudah menunggu dari tadi tapi mungkin karena lama jadi Kiyai pikir tidak jadi, Kiyai telah menyiapkan cemilan seadanya, beberapa kitab, bahkan mengalas karpet sendiri untuk duduk belajar-bersama".

Mendengar hal itu perasaan kami seperti disambar petir. Kami telah membiarkan guru menunggu murid, bukan sebaliknya. Kami yang belum tentu layak disebut murid tidak seharusnya begitu. Bukan persoalan Kiyai kurang sabar menunggu. Tapi ini soal bagaimana menghargai waktu. Kedua, kami telah membiarkan Kiyai menyiapkan sendiri kebutuhan belajar tanpa bantuan kami sama sekali. Keseriusan belajar terpancar dari cara Kiyai menghargai proses, termasuk rela menyiapkan segalanya sendiri. Ini tanda keseriusan!.

"Belum apa-apa kami sudah bersalah dua kali", ungkap dalam hati. Sekitar 15 menit kami menunggu, Kiyai pun tiba dari rumah sebelah. Selayaknya tradisi bertemu orang tua, kami memberi salam dan mencium tangan Kiyai.      

"Tadi saya sudah menunggu adik-adik sekalian, sekarang saya harus bantu tetangga sebelah membersihkan sumur, kasihan". Ungkap pria tua dengan senyuman khas yang selalu menempel dipipinya. Ia adalah KH. Abdurrahman Latukau, kami memanggilnya Kiyai Latukau. 

"Maaf Kiyai, kami terlambat". Tidak ada kata lain yang bisa kami ucapkan selain itu, itulah kebenarannya. Memang sebelumnya Kiyai telah mengingatkan kita agar jangan terlambat. Tapi kami melanggarnya, memang keterlambatan khas warga pergerakan seperti kutukan yang tidak pernah hilang, janji jam 9 pagi, muncul nanti jam 10.

Bagi Kiyai yang pernah menempuh belajar di pesantren tentu kedisiplinan adalah laku hidup bahkan habitus. Pesantren membentuk kedisiplinan : seluruh aktivitas belajar dan ibadah di atur sesuai waktu. Bagi mahasiswa yang rata-rata lulusan pesantren kilat seperti kami, ini tentu berat. Kedisiplinan adalah pelajaran pertama yang kami dapatkan. Kiyai latukau mengajarkan kepada kami apa yang seharusnya dimiliki setiap orang sebelum belajar.

Kedisiplinan diri akan membentuk ketekunan. Harus ada niat untuk berani keras terhadap diri sendiri. Sehingga kesadaran muncul dari dalam diri tanpa dorongan dari luar. Hal mana Nampak dari cara Kiyai menyiapkan sendiri kebutuhan belajar tanpa menunggu orang lain.  

Kiyai Latukau adalah santri keluaran pesantren ternama di Pulau Jawa, masing-masing ialah pesantren Gontor dan Tebuireng Jombang (1965-1970). Itulah kenapa Kiyai Latukau cukup akrab dengan Gus Dur. Selesai di pesantren, beliau lanjut kuliah di Universitas Hasyim Asy'ari Surabaya (1971-1975). Sempat singgah di IAIN Sunan Ampel selama satu tahun, kemudian melanjutkan studi ke Universitas Islam Madinah (1976 -- 1980).

Kiyai Latukau memiliki tradisi belajar yang cukup kompleks sejak muda. Setelah pulang dari Madinah, beliau tidak lupa mengamalkan ilmunya dengan mengajar di Pondok Pesantren Karya Pembangunan (PKP) Kombos. Sesuai postulat yang sering berkembang di pesantren, al ilmu bilaa amalin kasyajari bila tsamarin : ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah. Ilmu yang beliau dapatkan tidak lupa ia ajarkan.  

Selain itu, beliau juga aktif dalam organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU), dibuktikan dengan pernah menjadi salah satu anggota A'wan PBNU (2004-2009) waktu kepengurusan KH. Hasyim Muzadi sebagai Ketua Tanfidzh. Sekarang pun aktif sebagai anggota Rais Syuriah Pengurus Wilayah NU Sulawesi Utara. Dan Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Utara. Melihat kedua hal ini, mengisyaratkan bahwa belajar dan berorganisasi adalah aktivitas yang tidak terpisah, bisa dibilang beliau adalah ulama sekaligus aktivis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun