Dan esoknya, ketika saya tiba di kantor, saya lihat naskah Bob Brandon terpentang di atas meja. Saya heran sekaligus bingung. Siapa yang telah mengangkat naskah ini dari keranjang sampah?
Â
*
Akhirnya saya membaca naskah itu kembali, setelah Bob Brandon si pengarangnya  hadir kembali dalam mimpi-mimpi saya berikutnya. Malah pernah tiga kali berturut-turut dalam satu malam. Anehnya, Bob Brandon tak banyak bicara. Tapi ia selalu menatap sinis pada saya. Sepertinya ia marah pada saya!
Dan ada yang saya tak mengerti. Naskah cerpen itu selalu terpentang di atas meja setiap  saya datang. Padahal, saya pun telah berkali-kali membuangnya ke kerangkang sampah. Sepertinya ada tuntutan naskah itulah yang harus pertama saya baca sebelum naskah-naskah lainnya.
Saya merasa bahwa naskah cerpen itu mengandung suatu kekuatan yang sangup menimbulkan bisikan dalam benak saya. Bacalah naskah cerpen itu, Gam. Revisilah kalau memang tidak menarik. Muatlah secepatnya!Â
Ah, bisikan-bisikan itu cukup berpengaruh. Saya tak mampu menepisnya.
Saya pernah berpikir mungkin Mas Isman yang telah menaruh kembali naskah cerpen itu. Tapi tidak mungkin. Saya selalu melihat Mas Isman Pulang dan selalu melihat ia datang lebih lambat dari saya. Mana ada waktunya untuk melakukan keisengan itu.
Dan yang lebih aneh lagi sewaktu saya membuang naskah cerpen itu ke keranjang sampah. Saya selalu meremasnya. Tapi nyatanya naskah yang kini saya pelotot ini tidak kusut sama sekali.
Hampar tiga jam saya menghabiskan waktu untuk merevisi cerpen itu. Setelah itu saya temui Mas Isman.
"Saya sudah baca cerpen Bob Brandon," lapor saya. "Bisa dimuat dua edisi mendatang. Ilustrasinya hitam putih."
Mas Isman Nampak lega.
"Itu pun saya telah merevisinya besar-besarnya," lanjutnya saya.
"Tidak ada masalah, Gam. Yang penting sudah layak muat. Nanti saya usulkan agar honornya buat kamu saja."