Mohon tunggu...
Zainal Tahir
Zainal Tahir Mohon Tunggu... Freelancer - Politisi

Dulu penulis cerita, kini penulis status yang suka jalan-jalan sambil dagang-dagang. https://www.youtube.com/channel/UCnMLELzSfbk1T7bzX2LHnqA https://www.facebook.com/zainaltahir22 https://zainaltahir.blogspot.co.id/ https://www.instagram.com/zainaltahir/ https://twitter.com/zainaltahir22 https://plus.google.com/u/1/100507531411930192452

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bensin Campur

29 September 2019   20:57 Diperbarui: 29 September 2019   21:05 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya menemukan penjual bensin eceran di ruas Jalan Inspeksi Gubernur, Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, tadi pagi. Mungkin penjualnya habis lari pagi atau apalah? Sebab, sepatu kets putihnya masih ia pakai dengan hanya bercelana pendek, tanpa kaos.

Sambil jalan cepat, saya potret ia diam-diam. Dari belakang. Jadi wajahnya tak kelihatan. Saya pikir tak apalah. Karena bukan lelaki itu yang menyedot perhatian saya. Tapi jejeran botol yang nampak di depannya yang saya tahu betul itu berisi bensin botolan yang dijual eceran. Ada dua warna di situ. Saya tahu, yang kekuningan premium. Sedangkan yang biru pertamax.

Nah, melihat itu, memori 27 tahun silam langsung menari-nari di kepala saya. Ceritanya begini:

Akhir tahun 1992 silam, saya sedang kuliah kerja nyata (KKN) di Pangkajene Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.

Suatu sore, saya pinjam motor bebek Suzuki FR 80 milik Katte Bunna, pemilik rumah yang saya tinggali di Pangkejene. Ia imam kelurahan di situ. Orang tua itu sangat baik. Jika saya butuh kendaraan, dengan senang hati ia tak pernah keberatan kalau saya pinjam sepeda motor bututnya.

Tujuan saya, ingin jalan-jalan ke Kecamatan Panca Lautang, lebih 20 kilo sebelah selatan pusat kota Pangkajene Sidenreng, ibukota Kabupaten Sidrap. Saya berniat mengunjungi teman sesama anak KKN yang dapat lokasi di desa Corawali, Panca Lautang.

Namun di jalan, mendadak motor yang saya kebut itu terhenti. Mesinnya mati. Ternyata bensinnya habis. Saya nyaris mati kutu, karena perjalanan masih berkilo-kilo. Untung ada teman yang saya bonceng. Seorang gadis bernama Andi Nilam. Ia teman KKN juga. Kami satu jurusan dan seangkatan di jurusan Administrasi Negara, Fisipol, Universitas Hasanuddin.

Oh ya, kami tinggal bertujuh di rumah Pak Imam, dari beragam fakultas. Empat laki-laki, tiga perempuan. Termasuk Andi Nilam yang terbilang gadis manis, waktu itu. Sosok yang lain tak perlulah saya depkripsikan secara detail.

Kembali ke sepeda motor yang kami pakai yang tiba-tiba mogok itu. 

Gadis itu turun dari boncengan, berdiri di tepi jalan, bersungut-sungut dan tiada berhenti mengeluh.

Sepanjang jalan di hadapan saya nampak begitu lengang. Di sisi kiri jalan, nun di sana, nampak bukit batu meranggas. Di sisi kanan persawahan yang usai dipanen sepanjang mata memandang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun