Itulah enaknya. Walau sehari di Makassar, begitu ketahuan sama keluarga di Kabupaten Gowa, maka tak pelak lagi berbagai ole-ole akan menjadi pengisi bagasi pesawat.
Semuanya makanan.
Ada Songkolo Bagadang, Sop Saudara, Pallubasa Serigala, Mie Titi, bakso Atiraja, Otak-Otak dan berbagai jenis kue. Ada barongko, palita, biji nangka, bolu cuke, sanggara balanda, putu kacang dan baruasa. Eh, ada juga burasa dan sambala kaluku ternyata.
Dari semua ole-ole itu, ada satu yang menyita perhatian saya. Sebungkus plastik berisi Wajek Bandong. Yang ini langsung saya isolir, tak ada yang boleh mengkaplingnya, baik istri saya, maupunanak-anak. Mereka hanya boleh menguasai kue barongko dan sejenisnya, begitu saya mendarat di rumah Jakarta.
Wajek Bandong, camilan yang terbungkus kertas minyak warna-warni dalam size sekali lumat ini dibikin dari perpaduan beras ketan, kelapa parut dan gula. Mereka itu dimasak dalam satu adonan, hingga mendidih sekali. Lalu dibungkus dengan kertas minyak dalam model segi empat atau bulat-bulat. Dibiarkan hingga membeku sendiri. Wajek Bandong ini bisa tahan sepuluh hari.
Saya paham jenis kue ini, karena dulu sewaktu saya sekolah di SMP di Gowa, saya jualan Wajek Bandong. Saya bikin sendiri atas bantuan ibu dan adik-adik saya. Lalu saya jual titip dengan sistem konsinyasi di warung-warung kecil -gadde-gadde bahasa Makassarnya-- di daerah Mangasa dan sekitarnya.
Jadi ini Wajek Bandong punya nilai histori. Ia menopang hidup kami. Dan, terus terang ini kue kegemaran saya sejak kecil. Pagi tadi isteri saya menyajikannya bersama kopi hitam disaat saya sedang asyik menjelajah di dunia maya.
Nikmat. Orang Jakarte bilang, pagi ini klar idup lho...
Kenapa sampai dikatakan Wajek Bandong. Mungkin kue ini asalnya dari Bandung. Sebab di sana ada juga camilan bernama Wajik Bandung.
ZT -Kemayoran, 12 Oktober 2018