Mohon tunggu...
Zainal Arifin
Zainal Arifin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tak Ada Niat Ahok untuk Nodai Agama

24 Maret 2017   15:13 Diperbarui: 24 Maret 2017   15:19 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sidang kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sampai saat ini masih berlanjut. Berbagai macam saksi ahli pun didatangkan untuk menganalisa terkait ada atau tidaknya kalimat penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok di Kepulauan Seribu beberapa bulan yang lalu. Salah satu ahli yang dihadirkan adalah guru besar linguistik dari Universitas Indonesia (UI) Prof Rahayu Surtiati.

Dalam kesaksiannya tersebut, Rahayu membagi kalimat Ahok menjadi enam klausa. Klausa pertama adalah ‘jangan percaya sama orang’, klausa kedua adalah ‘bisa saja kan dalam hati kecil bapak ibu tidak pilih saya’. Klausa ketiga adalah ‘dibohongi pake surat Al maidah 51, macam-macam itu’. Klausa keempat adalah ‘itu hak bapak ibu’, klausa kelima adalah ‘jadi bapak ibu enggak bisa milih nih’ dan klausa keenam adalah ‘karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, enggak apa-apa’.

Dari enam klausa tersebut kemudian Rahayu menyimpulkan bahwa pelaku dalam kalimat yang dilontarkan Ahok atau pelaku yang berbohong adalah orang. Namun orang tersebut telah mengalami perubahan makna artinya bukan lagi menunjuk seseorang namun telah berubah menjadi sebuah idiom.

Sementara itu, menurut Direktur Pusat Studi Qur’an (PSQ) Prof. Dr. H. Muhammad Quraish Shihab, beberapa bulan yang lalu di salah satu stasiun televisi swasta  menjelaskan bahwa ayat 51 Surat Al-Maidah tersebut tidak berdiri sendiri, namun merupakan kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya. Hanya memenggal satu ayat dan melepaskan ayat lain berimplikasi pada kesimpulan akhir. Padahal, Al-Maidah ayat 51 merupakan kelanjutan atau konsekuensi dari petunjuk-petunjuk sebelumnya.

Lebih jauh ia menjelaskan kata ‘awliya’ adalah kata jamak atau bentuk plural dari ‘wali’. Apabila dilihat, kata ini popular di Indonesia. Hal tersebut memicu terbentuknya kata wali kota, wali nikah dan lain sebagainya. Wali bisa berarti “yang dekat”. Dalam konteks seperti ini, Quraish Shihab menyebutkan bahwa yang dilarang ialah melebur sehingga tidak ada lagi perbedaan termasuk dalam kepribadian dan keyakinan. Karena tidak ada lagi batas, kita menyampaikan hal-hal yang berupa rahasia pada mereka.

Sedangkan, Mantan Rois Syuriah Nahdhlatul Ulama (NU) KH Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus di salah satu media online mengatakan bahwa kasus Ahok ‘digoreng’ dengan mencatut agama untuk kepentingan politik. Pesan Gus Mus, untuk menjadi manusia obyekti dan jujur memang tidaklah mudah. Emosi dan hawa nafsu yang tidak terkendali akan dapat membuat manusia goyah dalam menentukan sikap, sehinggap akhirnya bisa menghalalkan segala cara.

Dari penuturan ahli dan beberapa ulama diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ahok  hanya ingin menyindir segelintir oknum yang menggunakan ayat tersebut untuk memprovokasi masyarakat untuk tidak pilih dia. Agama dijadikan alat untuk politik, bukan politik untuk agama. Hal ini terbukti dengan tidak berlakunya Surat Al-Maidah 51 untuk calon pemimpin non muslim yang ada di luar pulau jawa yang notabennya didukung oleh PKS. Kenapa Cuma berlaku di Ahok saja? Ada apa dan mengapa??

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun