Mohon tunggu...
zainab mulachela
zainab mulachela Mohon Tunggu... Guru - School Counselor and Creator Lingkar Jiwa Psychology

Ig : @zhainabmulachela content creator @lingkarjiwapsychology school counselor

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menyikapi Pertanyaan "Kapan Punya Momongan?"

26 April 2021   11:35 Diperbarui: 26 April 2021   11:52 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Pasti sebagian besar orang yang telah berumah tangga pernah mendapatkan pertanyaan "Kapan Punya Momongan?", atau jangan-jangan kalian pernah menanyakan hal serupa ke teman/ orang lain yang anda kenal?.

Biasanya orang yang baru-baru menikah akan ditanya pertanyaan semacam itu setelah beberapa bulan pernikahannya, apalagi jika mereka tak kunjung mendapatkan momongan. Namun, saat ini tak jarang orang menanyakannya pada pasangan yang usia pernikahannya baru seumur jagung.

Sebenarnya pertanyaan "kapan punya momongan?" tidak perlu ditanyakan secara berulang-ulang kepada pasangan yang telah menikah, terlebih usia pernikahannya sudah terbilang cukup lama. Hal itu karena, kebanyakan pasangan yang telah menikah tentu ingin segera memiliki momongan, terlebih bagi pasangan lama yang pastinya sudah berusaha kesana-kemari untuk mendapatkan momongan. 

Namun, sayangnya pertanyaan itu seakan menjadi hal lumrah yang ditanyakan oleh sebagian besar orang untuk sekedar membuka obrolan (basa-basi) saat bertemu dengan teman lama, kerabat dan orang lain dalam suatu kesempatan.  

Tanpa disadari ternyata pertanyaan tersebut dapat menganggu kondisi kesehatan mental. Sudah menjadi rahasia umum, sebagian masyarakat kita masih sering menganggap perempuan sebagai pihak yang "bermasalah" ketika lama tak kunjung memiliki momongan. Pada faktanya, organisasi kesehatan dunia, WHO mengungkapkan pria juga menyumbang infertilitas sebesar 36%, sedangkan wanita sebesar 64%.

Tetapi, kebanyakan pertanyaan seputar "kapan punya momongan?" hanya ditanyakan kepada pihak perempuan. Hal serupa juga diungkapkan oleh Pranata (2009) yang melakukan studi tentang infertilitas pada salah satu daerah di Indonesia. 

Dari studinya terungkap bahwa kejadian infertilitas dalam suatu lingkungan masyarakat atau dalam kehidupan sosial budaya masih mengandung bias gender yang kuat, dimana wanita merupakan pihak yang paling sering disalahkan pada pasangan suami istri yang tidak mempunyai keturunan secara biologis.

Lalu bagaimana kita menyikapi pertanyaan semacam itu?

Hal yang pertama yang mesti diingat adalah perlunya mengelola pola pikir (mindset). Hal itu karena, untuk melahirkan kondisi mental yang sehat seseorang perlu memiliki kemampuan untuk mengelola pikiran. Jangan sampai pertanyaan-pertanyaan semacam ini dapat menganggu pikiran kita yang justru membuat tingkat stres meningkat.

Ketika kita stres tentu akan mempengaruhi kondisi hormonal. Hal itu sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Mark Saver mengenai Psychomatic Medicine yang menjelaskan bahwa wanita yang memiliki tingkat stres yang tinggi maka kemungkinannya untuk hamil akan semakin kecil dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami stres. 

Penyebabnya adalah adanya ketidakseimbangan hormon termasuk hormon yang berkaitan dengan sistem reproduksi yang dapat mempengaruhi proses terjadinya ovulasi (pembuahan).

Kita hanya perlu membangun pikiran positif, misalnya: ketika ditanya "kapan memiliki momongan?" kita tidak perlu menginternalisasi konten (isi) pertanyaannya, yang perlu kita "cerna" dalam pikiran adalah bahwa orang yang menanyakan pertanyaan semacam itu, artinya mereka sedang memperhatikan kondisi yang kita alami. 

Dengan membangun pikiran positif seperti itu, diharapkan kita tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan kekecewaan. Justru hal tersebut dapat memotivasi kita, karena fokus kita akan lebih kepada hal positif dari suatu pertanyaan yang dilontarkan oleh orang lain.

Hal kedua yang dapat dilakukan adalah, menjawab dengan sopan pertanyaan yang dilontarkan. Perlu diingat juga bahwa anda tidak perlu menghindari berbagai pertemuan dengan orang lain, ini justru akan menganggu kondisi psikis anda. Bergaulah secukupnya dan tetap jadi diri anda sendiri. Jangan sampai hal tersebut justru membuat anda menarik diri dari lingkungan sosial, sehingga akan membuat kelebihan yang anda miliki terabaikan.

Ada baiknya ketika ditanya mengenai hal tersebut anda menjawab dengan,  "doain ya" atau "insyaAllah segera diberikan keturunan" dan jawaban sopan yang lainnya. Jika anda merasa nyaman untuk mengungkapkan perasaan anda pada orang yang dekat, mungkin anda bisa memberikan sedikit pengertian pada jawaban yang anda berikan, seperti: "Doain aja ya, aku tentu ingin memiliki momongan, namun tentunya semua atas kehendak yang di atas, aku juga sudah berusaha." Intinya anda dapat menjelaskan kondisi / perasaan dari jawaban anda (jika dirasa perlu dan membuat anda lebih lega).

Hal ketiga, tetap fokus pada kelebihan yang anda miliki. Jangan sampai pertanyaan soal kapan memiliki momongan tersebut membuat anda menjadi stres atau membatasi kegiatan anda. Hal itu justru akan membuat kelebihan-kelebihan yang anda miliki menjadi terbatasi. Boleh-boleh saja jika anda mengurangi sedikit aktivitas harian dikarenakan sedang program hamil misalnya, namun perlu diingat jangan sampai hal itu menganggu kondisi anda dan membuat anda merasa semakin tidak berarti.

Hal akhir yang menjadi bagian terpenting adalah penerimaan. Kita sebagai manusia tentu hanya bisa berencana, apalagi terkait masalah-masalah yang tentunya sudah menjadi kehendak Sang Pencipta. Kita harus mampu ikhlas dan senantiasa berpikir positif akan segala jalan yang Tuhan berikan. Berusahalah untuk selalu berprasngka baik denganNya, karena Dialah yang paling tahu yang mana yang terbaik untuk hambaNya. Jangan lupa untuk selalu berdoa dan meminta diberikan yang terbaik.

Sumber :

Pranata S (2009). Infertilitas di Kalangan Laki-Laki Madura Studi Tentang Permasalahan Sosial dan Konsekuensi Infertilitas. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan.12(4): 393402.

World Health Organization (2000). WHO Manual for the Standardised Investigation and Diagnosis of the Infertile Couple. Cambridge: Cambridge University Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun