Mohon tunggu...
Zaim Zen
Zaim Zen Mohon Tunggu... Freelancer - Penghayat Kehidupan

Penulis buku “secangkir teh dan sepotong ketupat”.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benih-benih Diskriminasi

6 Juni 2020   03:22 Diperbarui: 6 Juni 2020   04:01 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
( Foto: Beritasatu / Primus Dorimulu )

Hampir enam tahun aku tinggal di Eropa, dan selama itu pula aku tak pernah jumpa dengan keluarga di kampung. Beberapa bulan menjelang kepulanganku, tiap hari aku selalu memikirkan apa yang bisa aku bagikan pada keluarga, khususnya tentang pengalaman ku selama di Eropa.

Saat kepulangan itu tiba, aku dijemput oleh keluarga besar ku. Mereka harus menyewa mobil untuk sampai di bandara. Begitu sampai kami saling berpelukan dan menangis terharu. 

Tapi mereka sama sekali tak menanyakan bagaimana pengembaraan ku selama di Eropa. Mereka lebih memilih untuk mengomentari warna kulit ku yang semakin putih. Dan itu sudah cukup untuk membuat mereka kagum dan bahagia.

Di masyarakat kita, sangat umum sekali berpandangan bahwa kulit putih adalah cantik dan kulit hitam adalah jelek. Jadi pandangan keluargaku akan kulit ku yang semakin putih juga tak jauh dari pandangan umum tersebut. 

Pandangan keluarga ku ini juga didukung oleh iklan-iklan produk kecantikan. Yang selalu mengatakan "Kulit putih bersih, bersinar tanpa noda dan lain sebagainya... dan lain sebagainya..."

Tiga bulan di Indonesia, aku banyak melakukan perjalanan ke beberapa daerah dan pulang ke kampung sebulan sekali. Saat pulang salah satu keluarga ku berkomentar dengan nada negatif. 

"Kok sekarang kamu hitam sih" dengan nada penuh sinis. Saat itu kulitku memang tak seputih saat aku baru saja tiba di tanah air dan terlihat gelap. Aku tak bisa bayangkan seperti apa jika tiba-tiba saja aku berubah menjadi kulit hitam seperti saudara ku yang di Papua. Mungkin saudaraku bisa berguling-guling menangis kecewa. 

Itu kondisiku, di keluargaku. 

Sedangkan di negeri ku, yang konon katanya semua warga negara memiliki posisi yang sama di depan hukum, memiliki cerita sendiri yang tak jauh beda dengan ceritaku, perubahan kulitku, dan keluargaku. 

Di negeriku ini aku sering mendengar komentar miring tentang saudara ku Papua, yang berkulit hitam. Seperti contoh di salah satu grup WA, saat wabah korona, mereka ada yang membagikan gambar orang Papua  memakai koteka dan menulis kata dalam gambar tersebut "Walaupun tanpa kolorna tetap memeriksa korona" dengan meme tertawa terbahak-bahak. 

Lalu salah satu anggota  grup WA tersebut ada yang menanggapi dengan meme tertawa terbahak-bahak. Bagiku ini bukan guyonan tapi pelecehan. Aku tak bisa bayangkan bagaimana sakit hatinya saudaraku Papua terus menerus mengalami perundungan seperti ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun