Mohon tunggu...
zahwa aslamiah
zahwa aslamiah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pernikahan Anak Usia Dini (Analisis Perubahan Sosial dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural Talcott Parsons)

21 Juni 2021   17:25 Diperbarui: 21 Juni 2021   17:47 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pernikahan anak usia dini merupakan perkawinan anak yang dilakukan di bawah usia 18-19 tahun,  sebagaimana yang telah ditetapkan pemerintah pada revisi UU No. 1 tahun 1974 pasal 7 tentang perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan diizinkan jika pihak laki-laki sudah memasuki usia 19 tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 tahun, menjadi UU No.16 Tahun 2019 sebagai UU terbaru dalam menetapkan batas minimal usia untuk pernikahan yaitu baik laki-laki maupun perempuan batas minimal usia menikahnnya 19 tahun. Permasalahan pernikahan usia dini menjadi permasalahan yang seringkali merugikan dan mencelakai hak-hak anak terutama perempuan, yang memiiki resiko lebih tinggi dibandingkan laki-laki, dimana baik secara fisik maupun mentalnya belum siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Pada nyatanya, pernikahan usia dini di negara-negara berkembang termasuk Indonesia masih banyak terjadi.

Dilansir dari website Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemen PPPA), Indonesia menduduki peringkat ke-7 di dunia dengan angka perkawinan anak tertinggi dan peringkat ke-2 di ASEAN yang mengancam kegagalan Sustainable Development Goals (SGGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan serta mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia. Hal ini terjadi dipengaruhi oleh banyak factor penyebab, diantaranya kemiskinan, pendidikan rendah, ketidaksetaraan gender, kurangnya akses terhadap informasi perihal kesehatan reproduksi, adanya stereotype tertentu dalam kepercayaan masyarakat, dan masih banyak lagi factor lainnya. Pada prakteknya, pernikahan usia dini sering terjadi di daerah pelosok atau pedesaan yang sangat kurang sekali mendapatkan akses informasi mengenai kesehatan reproduksi, serta kondisi ekonomi yang kurang, menjadikan pembenaran bagi orang tua dengan tingkat pendidikan yang rendah untuk menikahkan putri mereka agar dapat membantu penghasilan keuangan keluarga atau dapat mengurangi beban ekonomi keluarga. Berbagai upaya dan strategi telah digalakkan oleh pemerintah untuk mencegah pernikahan usia dini salah satunya yaitu merevisi UU tentang perkawinan terkait batas usia pernikahan. Selain itu, ada strategi yang dilakukan oleh Kemen PPPA bersama The United Natios Population Fund (UNFPA) yaitu melakukan pendokumentasian praktik terbaik dalam pencegahan perkawinan anak di 5 Kabupaten di Indonesia salah satunya Kabupaten Gunung Kidul yang menjadikan program pencegahan pernikahan anak menjadi salah satu prioritas, dengan di terbitkannya peraturan tentang pernikahan usia dini melalui Perbup Nomor 36 Tahun 2015. Dalam Perbup ini dijabarkan bahwa pencegahan ini harus di lakukan oleh berbagai elemen seperti pemerintah daerah, masyarakat dan lingkungan, orang tua atau keluarga, dan individu yang bersangkutan. Dalam hal ini, semua elemen yang bersangkutan harus berperan aktif membantu pencegahan terjadinya pernikahan anak usia dini.

Sebelum itu, penulis ingin menjelaskan sedikit apa itu perubahan sosial. Tidak semua perubahan dapat dikatakan sebagai perubahan sosial, apabila perubahan tersebut berdampak pada perilaku, sikap, nilai dan norma, serta pola perilakunya sudah ajeg di masyarakat itulah yang bisa dikatakan sebagai perubahan sosial. Yang artinya perubahan sosial itu harus berdampak pada aspek structural dan kultural di masyarakat. Dari yang penulis dapat pahami dari teori-teori perubahan sosial, dalam isu pernikahan anak usia dini ini penulis menggunakan perspektif teori Fungsional Struktural  Menurut teori fungsional system sosial di masyarakat ini diartikan sebagai suatu system sosial yang terdiri dari berbagai elemen yang saling berkaitan dan apabila terjadi perubahan pada satu elemen, maka akan membawa perubahan pula bagi elemen lainnya. Salah satu tokoh dalam fungsionalis structural ini adalah Talcott Parsons yang terkenal dengan empat imperative fungsionalnya yaitu biasa di singkat dengan AGIL. Pada konsep perubahan sosial milik Parsons bersifat perlahan-lahan dan selalu dalam usaha untuk beradaptasi demi terciptanya kembali equilibrium atau keseimbangan. Dengan kata lain, perubahan menurut Parsons tersebut lebih bersifat evolusioner. Kemudian agar dapat bertahan, system harus menjalankan empat imperative fungsi tersebut yaitu Adaptation (adaptasi), Goals (pencapaian tujuan), Integration (Integrasi), dan Laten (pemeliharaan pola).

a. Adaptasi atau menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dalam hal ini, persoalan pernikahan anak usia dini yang terjadi di Indonesia mulai menjadi concern bagi seluruh masyarakat Indonesia yang peduli dengan hak-hak anak terutama anak perempuan sehingga pemerintah merivisi UU perkawinan, yang tadinya antara laki-laki dan perempuan batasan usia perkawinannya berbeda 2 tahun, sekarang menjadi sama yaitu sama-sama 19 tahun. Dalam hal ini system beradaptasi dengan lingkungan yaitu kesadaran masyarakat yang aware terhadap tingginya tingkat pernikahan usia dini di Indonesia yang dapat mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan mengancam kegagalan Sustainable Development Goals (SGGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

b. Pencapaian tujuan, system harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya. Kepedulian masyarakat terhadap hak-hak anak inilah yang mencerminkan goal attainment untuk melaksanakan fungsi pencapaian tujuan sebagai suatu wujud solusi bagi persoalan pernikahan dini yaitu hingga direvisinya UU tentang perkawinan supaya dapat menekan tingginya tingkat pernikahan anak usia dini di Indonesia. Dalam hal ini tujuannya untuk mengurangi atau bahkan mencegah terjadinya pernikahan anak usia dini.

c. Integrasi, dalam menjalankan setiap skema diatas tanpa adanya integrasi, tidak akan ada ikatan yang kuat (tidak ada unsur legalitas) untuk mengatur pola perilaku tersebut. Dalam hal ini, integrasi terwujud dalam bentuk sebuah peraturan baik di tingkat pusat seperti ditetapkannya UU No.16 Tahun 2019 dan di tingkat daerah atau kabupaten (Kab. Gunung Kidul) dengan di terbitkannya peraturan tentang pernikahan usia dini melalui Perbup Nomor 36 Tahun 2015. Fungsi dari legalitas hukum ini, berfungsi sebagai upaya untuk melestarikan system sosial dan mengikat serta memaksa para actor (individu dan masyarakat yang bersangkutan) untuk bersikap konformis terhadap peraturan-peraturan yang telah ditetapkan tersebut. Kemudian, agar system ini tetap berjalan dan bertahan sebagaimana mestinya, maka para actor harus menjalankan fungsi,

d. Laten atau pemeliharaan pola. System harus memelihara dan mempertahankan serta menciptakan budaya yang memotivasi actor untuk melakukan tindakannya tersebut. Dalam hal ini actor telah disediakan norma dan hukum yaitu peraturan yang telah dijabarkan diatas.  Dengan kata lain actor menginternalisasikan nilai dan norma yang dihasilkan dari system agar tindakan para actor tetap sesuai dengan system dan sesuai dengan tujuan-tujuan system tersebut sehingga menciptakan suatu budaya yang terkait dengan pencegahan pernikahan anak usia dini. Begitu seterusnya hingga baik lagi ke adaptasi dan hingga terjadi pemeliharaan pola.

Dilansir dari Lokadata.id menurut data Bappenas, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir praktik perkawinan anak di Indonesia mengalami penurunan sebanyak 3,5 persen. Namun, penurunan presentase pernikahan anak usia dini tersebut masih tergolong lambat dan diperlukan upaya yang sistematis dan terpadu untuk mencapai target sebesar 8,74 persen pada tahun 2024 dan menjadi 6,94 persen pada tahun 2030. Walaupun demikian, masih ada sedikit perubahan dalam penekanan pernikahan anak usia dini di Indonesia, sebagaimana penuturan Parsons terkait suatu perubahan yang sifatnya evolusi atau perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan dan selalu dalam usaha untuk beradaptasi .Dan masih ada sedikit harapan bagi pemenuhan hak-hak anak yang baik untuk memajukan kehidupan bangsa kedepannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun