Aku menstarter motor bututku. Aku siap dengan keronjong untuk benda-benda antik yang akan kudapatkan. Benda-benda bekas. Rongsokan kalau di kampung-kampung menyebutnya.
Alhamdulillah, dengan barang-barang bekas ini aku dapat menabung setelah beberapa tahun aku lulus di sebuah SMK swasta di kecamatan.Â
"Tidak usah malu dengan barang-barang bekas seperti ini kalau mau kuliah, San..", kata bapak kepadaku.
Ya, memang aku pengen banget bisa berkuliah meski aku lulusan SMK. Aku tidak mau kalah dengan teman-teman dan tetangga-tetanggaku yang berkuliah. Dan tahun ini, aku berencana untuk mendaftar kuliah.
Aku melajukan sepeda motorku pelan-pelan. Aku mampir ke rumah-rumah langgananku. Dan alhamdulillah, aku dapat membeli rongsokan itu dengan harga yang lumayan dan kemudian kusetorkan ke tempat pusat pengusaha dari barang rongsokan. Dan alhamdulillah, aku mendapat keuntungan yang juga lumayan.
***
"Mas, ada tetangga yang mau menjual rongsokan lho.. Siapa tahu mas mau mampir. Rumahnya dekat masjid kampung ini..", kata pak Manto. Pak Manto ini juga langgananku.
"O ya, pak? Namanya siapa nggih?", tanyaku antusias.Â
"Pak Umar.. Beliau termasuk pemuka di kampung ini, mas..", pak Manto menjawab.Â
Nama itu mengingatkan kepadaku akan seorang guruku dahulu kala. Guru saat aku masih bersekolah di SMK. Guru yang tegas. Tetapi kalau saat itu kami menyebutnya galak.
"Saya antar kalau mau ke sana, mas. Sekalian saya ada perlu dengan beliau..", kata pak Manto membuyarkan lamunanku.Â