Mohon tunggu...
Lyfe

Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa UNJ Part 1 : Menjadi Pemuda yang Dirindukan Bangsa

21 Juni 2016   20:19 Diperbarui: 21 Juni 2016   20:24 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BEM Universitas Negeri Jakarta mengadakan suatu agenda pelatihan kepemimpinan, yaitu Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa UNJ. Rangkaian acara tersebut salah satunya adalah penyampaian materi yang dibagi menjadi tiga sesi. Sesi pertama mengenai Manajemen Isu dan Opini Publik, sesi kedua tentang Rekayasa Sosial dan pada sesi ketiga mengenai Counter Intelegent.

Pada PKM UNJ sesi satu yang dilaksanakan di Kampus E UNJ daerah Setiabudi, dipaparkan oleh pemateri ahli mengenai Manajemen Isu dan Opini Publik. Ia adalah Muhammad Tri Andika. Awalnya beliau memaparkan apa itu Opini. Dalam penjelasannya beliau mengatakan bahwa Opini dan Persepsi hadir lebih dahulu daripada hukum itu sendiri. Karena opini adalah suatu pendapat seseorang baik itu berdasarkan kenyataan yang terjadi ataupun tidak.

Kemudian beliau menjelaskan bahwa Publik dan Massa berbeda. Makna dari Publik itu sendiri lebih terkesan solid daripada massa yang kesannya kurang terstruktur secara teknis. Maka Opini Publik lebih dipercaya masyarakat karena mampu menarik perhatian. Walau pada dasarnya Opini Publik hanyalah suatu judgetment atau bisa juga hasil evaluasi suatu kejadian. Dan yang terpenting, Opini Publik bukan bagian dari fakta. Tetapi, ia mampu mengangkat suatu isu lebih hangat dibicarakan ditengah masyarakat saat ini.

Dalam ilmu mengenai Opini Publik pun dikenalkan mengenai, Spiral of Silence. Kondisi dimana publik takut merespon suatu isu yang terjadi. Hal ini dikarenakan beberapa orang yang memiliki pendapat minoritas enggan menyampaikan pendapatnya. Mereka lebih baik diam. Hal ini tentulah bukan budaya negara demokrasi karena makna demokrasi itu sendiri adalah bebas mengeluarkan pendapat. Sehingga dampak dari spiral of silence ini, menjadikan masyarakat lebih apatis dan individualis dalam kehidupannya.

Berbeda dengan Power of Media. Apabila hal ini berjalan dengan baik, maka bisa dikatakan berhasil dalam membangun Opini Publik karena mampu menghentikan pendapat-pendapat minoritas tersebut. Itulah kekuatan dari media.

Istilah lain yang dijelaskan oleh pemateri ialah, Hipperialitas. Hipperialitas bermakna membaurkan. Maksudnya dalah, suatu kondisi dimana masyarakat sudah tidak dapat lagi membedakan yang mana fakta dan rekayasa, yang mana realita dan fantasi, dan yang mana kebenaran dan kebohongan. Hal ini merupakan salah satu dampak dari tingginya opini publik dan kuatnya media. Terlalu banyak hal yang bermunculan sehingga membingungkan masyarakat.

Lalu dampak lainnya adalah infasi informai, disinformasi, depolitisasi, dan hippermoralitas. Infasi Informasi maksudnya adalah banyaknya informasi yang muncul sehingga menimbulkan rasa malas pada masyarakat untuk mencari tahu kebenaran dari informas-informasi tersebut. Lalu, disinformasi adalah dampak dari infasi informasi sehingga masyarakat tidak paham akan suatu isu. Mereka hanya tau sekilas karena banyaknya informasi yang muncul. Sehingga menimbulkan kebingungan pada masyarakat itu sendiri. Kemudian depolitisasi, hal ini adalah kondisi dimana isu utama tersingkarkan oleh isu-isu kecil. Sehingga masalah besar yang harusnya dapat dicegah masyarakat tetap terjadi karena bukan menajadi opik utama. Dan yang terakhir adalah hippermoralitas. Kondisi yang paling memprihatinkan, karena pada hal ini media sudah tidak mengindahkan lagi aspek moral dalam menyajikan informasi kepada masyarakat.

Pada akhir sesi ini, pembicara mengatakan bahwa pemuda khususnya mahasiswa sangat berperan dalam menyaring informasi yang masuk dan mengolah opini publik. karena meeka adalah seorang akademitis yang dimana tidak asal dalam menerima ataupun menyampaikan informasi yang terjadi di Indonesia.

Kemudian pada sesi dua PKM UNJ yang diselenggarakan di Kampus A UNJ ini, diisi oleh pembicara yang sangat fenomenal dalam dunia media sosial. Ia adalah Jonru Ginting. Seorang jurnalis dan mempunyai media online yaitu Jonru.com. sudah menjadi rahasia umum bahwa informasi yang disebarluaskan oleh Pak Jonru ini sering kali menjadi isu hangat dalam kalangan masyarakat ataupun kalangan elit. Oleh karena itu, beliau mengisi  materi mengenai Rekayasa Sosial.

Dalam pemaparannya, pembicara menceritakan bagaimana pengalamannya dalam menulis. Beliau memaparkan bahwa menulis, terutama di media online, mampu dalam mengolah dan membuat suatu rekayasa sosial. Hal ini berhubungan dengan opini pubik yang dipaparkan pada sesi satu. Rekayasa sosial adalah suatu kondisi yang diciptakan dengan sengaja oleh suatu kelompok. Hal ini bertujuan untuk menciptakan suatu perubahan yang diinginkan agar menjadi lebih baik lagi.

Pembicara memaparkan bahwa pemuda khususnya mahasiswa sebagai Agent of Change harus memiliki syarat-syarat berikut: Power, Leadership, Mentality, dan Morality. Hal ini agar fungsi mahasiswa sebagai agen perubahan bisa berjalan dengan baik dan salah satunya melalui cara rekayasa sosial. Sebagai Agent of Change pun harus memiliki senjata, diantaranya adalah: jabatan, public speaking, tulisan, inovasi, dan kekuasaan. Semua senjata tersebut harus dipergunakan sebaik mungkin. Terkhusus dalam rekayasa sosial ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun