aat itu, Bung Karno selalu menghindar menandatangani keputusan eksekusi mati S.M. Kartosuwiryo yang tidak lain sahabatnya saat masih bersama-sama berjuang menimba ilmu di rumah indekos H.O.S. Cokroaminoto.Â
Namun demikian, di tengah kegamangan Bung Karno berhasil membuktikan dirinya sebagai seorang pemimpin yang tegas, beliau pada akhirnya menandatangani keputusan eksekusi Kartosuwiryo sebagai wujud sikap seorang negarawan yang harus bersikap sebagaimana mestinya.
Sebagai wujud komitmen akan nilai-nilai kemanusiaan dan perlawanan terhadap penjajahan, Bung Karno juga tegas menolak mengakui Israel sebagai entitas negara berdaulat yang beliau buktikan dengan tidak membuka hubungan diplomatik Indonesia-Israel, menolak kehadiran kontingen Israel dalam ajang Asian Games 1962 di mana Indonesia menjadi tuan rumah. Hal ini sebagai wujud keberpihakan Indonesia pada rakyat Palestina yang kemerdekaan dan kedaulatannya dirampas secara sepihak oleh Israel.Â
Penolakan Bung Karno terhadap Israel juga untuk menunjukkan kepada dunia bahwa apa pun risiko yang akan terjadi akibat kebijakan tersebut Indonesia akan tetap konsisten memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina yang diperlakukan secara tidak manusiawi oleh Israel.Â
Bahkan secara gamblang Bung Karno menyampaikan bahwa sepanjang kemerdekaan bangsa Palestina tidak diberikan kepada rakyat Palestina, maka sepanjang itu pula Indonesia akan menentang penjajahan dan kesewenang-wenangan Israel.
Sosok Nasionalis Sejati
Tidak diragukan lagi jika Bung Karo adalah sosok nasionalis, pemersatu bangsa Indonesia dari beragam identitas dan golongan. Asas kebangsaan yang digagas beliau dalam Pidato 1 Juni 1945 benar-benar membuktikan bahwa beliau sangat mencintai bangsa Indonesia, sangat berpihak kepada kepentingan bangsa dan negara.Â
Bung Karno bahkan rela kehilangan apa pun demi sebesar-besarnya kepentingan bangsa yang beliau cintai. Mulai dari keluar masuk penjara pada masa kolonial Belanda akibat aktivitas politik memperjuangkan kemerdekaan, diasingkan ke tempat-tempat terpencil, kehilangan kekuasaan, hingga ancaman pembunuhan pernah beliau alami dalam memperjuangkan cita-cita bangsa.
Sejarah mencatat dengan sempurna bahwa beliau adalah sosok yang selalu menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi beliau.
Misal, ketika bangsa Indonesia terancaman pecah belah akibat meletusnya Gerakan 30 September 1965 dan kemudian berujung pada keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang kemudian malah melemahkan kekuasaan Bung Karno, mematikan wibawa dan wewenang beliau akibat Surat Perintah (SP) 11 Maret 1966 ditafsirkan berbeda oleh pengembannya, Bung Karno tidak mengambil sikap egois, melakukan perlawanan dengan menggerakkan personel-personel militer yang masih loyal kepada beliau untuk mengamankan kekuasaan.Â
Hal ini tidak beliau lakukan karena beliau sadar bahwa pertumpahan darah sesama anak bangsa akan terjadi jika beliau melawan. Bung Karno justru memilih kekuasaannya dipreteli, membiarkan wewenangnya dicabut, dan mengikhlaskan dirinya dijadikan tahanan politik demi tetap kukuhnya persatuan dan kesatuan nasional.Â