Tak percaya diri. Menghadapi kamera dengan lampu sorot menyala. Lebih menyiksa daripada tatapan puluhan mata peserta didik di kelas.
Cut, action, cut, action, dan seterusnya. Maklum, jika para artis gajinya selangit. Honor host kuis di televisi per tayang, bisa sama dengan gaji guru hingga 30 bulan. Satu jam tayang sama dengan tiga puluh bulan. Edan! Bukan?
Jangan salahkan jika banyak peserta didik mengidolakan artis. Bercita-cita menjadi artis. Tajir melintir.
YouTuber. Jenis pekerjaan baru yang dilegalkan. Hanya upload kegiatan sehari-hari, bisa bergelimang pundi-pundi miliaran. Share, like, subscribe, aktifkan lonceng. Begitulah kata-kata kuncinya.
Shooting kekonyolan, bullying terhadap teman (prank), kasih judul yang bikin penasaran, terkadang menyerempet norma kesusilaan. Tinggal leha-leha, dollar pun berdatangan.
Ada perilaku baru. Dahulu cita-cita peserta didik ingin menjadi dokter, tentara, guru, ustadz, dan lain-lain. Sekarang, banyak peserta didik bercita-cita menjadi YouTuber. Perlukah berpendidikan tinggi untuk menjadi YouTuber? Ah, sok idealis.
Geser ke new normal. Pembelajaran daring menggeser kebiasaan para guru. Akrab dengan gadget, kamera, video, editing, dan lain sebagainya. Bermunculan YouTuber mendadak. Para guru sekaligus YouTuber.
Suatu keniscayaan, follower, liker, subscriber, semakin bertambah banyak dengan pasti. Seiring banyaknya peserta didik setiap tahun. Bukan mustahil, gaji profesi guru-nya jauh dibawah gaji dari YouTube. Bukan tidak mungkin, gairah profesional-nya bergeser. Semangat tingginya saat shooting mengalahkan gairah untuk mengajar. Jika pada kondisi seperti ini, generasi emas yang diidamkan menjadi omong kosong belaka.
Apakah sistem penggajian guru perlu digeser? Anggap new normal model gaji guru. Mengadopsi sistem penggajian ala YouTube. Wallahu a'lam. (*)