Mohon tunggu...
Zaenal Arifin
Zaenal Arifin Mohon Tunggu... Guru - Kawula Alit

Guru matematika SMP di Banyuwangi, Jawa Timur. Sedang masa belajar menulis. Menulis apa saja. Apa saja ditulis. Siap menerima kritikan. Email: zaenal.math@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Takjilku Hilang

8 April 2019   16:58 Diperbarui: 8 April 2019   21:50 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Takjil puasa. Sumber: blog.travelio.com

"Mas, sembako kita habis." Kataku pada Mas Kholid.

Aku dan Mas Kholid teman sekamar. Kami berdua mahasiswa sesama jurusan. Bedanya, Mas Kholid angkatan dua tahun di atasku. Kami bertiga, aku, Mas Kholid, dan Anis (adik kelas kami) berada dalam satu kamar. Bukan tanpa alasan kami bertiga sekamar. Keterbatasan dana, membuat kami rela untel-untelan. Satu orang harus beralaskan tikar. Bergantian, dua orang di kasur, yang lain di tikar.

Kami masak makanan sendiri. Terkadang belanja bahan masakan di pasar bersama-sama. Lain waktu menanti penjual sayur keliling. Melijo, penjual sayur keliling kami sebut melijo.

Iuran uang atau bahan pokok. Beras, garam, bawang merah, minyak goreng dan lain-lain. Semampunya masing-masing dari kami. Yang punya uang lebih, iuran lebih. Jika iurannya kurang, berarti harus masak. Senasib seperjuangan, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.

****

Sore itu, aku akan masak untuk buka puasa. Ternyata, beras dan sayuran sudah tidak tersedia. Anis, yang sambil bekerja di Wartel (Warung Telekomunikasi) sudah dapat jatah buka puasa dari juragannya.

"Harus bagaimana?" Mas Kholid balik bertanya. Aku berdiam diri, belum ada ide menempel di otak. Begitupun dengan Mas Kholid, dia diam seakan berpikir sesuatu.

"Lha!" Tiba-tiba kami berdua seakan menemukan sesuatu yang sama.

"Sampean dulu Mas." Aku mempersilahkan Mas Kholid mengutarakan isi pikirannya terlebih dahulu.

"Yuk! Kita bersama-sama ke Masjid. Insya Allah di sana ada takjil gratis."

Aku manggut-manggut, "Cocok Mas, masjid mana? Jangan masjid kampus." Aku memberikan syarat.

"Kenapa kalau masjid kampus?" Mas Kholid balik bertanya.

"Mas Kholid tahu sendiri, posku di waktu istirahat kuliah kan di masjid. Banyak yang kenal, padahal Maghrib Isya kita tidak pernah jama'ah di masjid kampus." Aku merinci alasanku.

"Ok, kita ke Masjid Al Amin, dekat alun-alun." Mas Kholid mengajukan usulan. Akupun manggut-manggut, tanda setuju.

****

Kami berboncengan menuju masjid terbesar di kota. Sepeda kayuh tua, ikut merasakan beratnya perjalanan. Melalui bukit dengan beberapa jalan berkelok. Menambah semakin deras keringat bercucuran.

Kami bergantian, separuh perjalanan awal Mas Kholid pegang kendali. Di bagian akhir, aku yang harus ngos-ngosan. Penuh tenaga, sisa-sisa energi sore itu kukerahkan. Level satu mungkin, sisa baterai tenagaku. Hampir menuju titik terakhir. Ibarat sepuluh meter akhir sprinter. Aku berusaha menguras sisa tenaga. Ingin melaju kencang, namun sepeda kayuh seakan jalan di tempat. Lama, terasa lama tidak sampai tujuan.

Akhirnya, sampai juga kami di halaman Masjid Al Amin. Langsung kuparkir sepeda di selatan masjid. Terlentang di teras masjid, aku kipas-kipas tubuhku yang penuh keringat. Angin semilir kuharap mengalir ke tubuhku yang terasa lemas. Oksigen dadakan terhirup lubang hidungku. Alhamdulillah, lumayan rasa letih terkurangi. Perasaan senang, mendengar marbot masjid menghidupkan kaset qiraat. Waktu maghrib akan segera tiba, pikirku.

Seseorang datang dengan air mineral kemasan gelas satu dus. Kuperhatikan belum terdapat takjil. Mungkin disembunyikan.

"Allahu Akbar! Allahu Akbar! ...."

Azan Maghrib berkumandang. Aku segera mengambil dan minum air mineral. Agar puasa hari itu segera dibatalkan.

Tidak ada takjil. Belum terlihat oleh kami kurma, manisan, kolak, atau nasi bungkus. Mungkin nanti, setelah sholat jama'ah maghrib. Kami segera mengambil air wudhu. Bergabung dengan para jama'ah bersiap menunaikan sholat maghrib.

****

Imam sholat maghrib sungguh sangat pengertian. Bacaan wirid yang dibaca tidak terlalu panjang. Aku dan Mas Kholid seakan punya misi sama. Sholat dua rakaat setelah maghrib. Bergegas ke serambi, tengok kanan kiri.

Nyaris tiada bekas. Takjil sore itu tidak ada. "Waduh, kita salah niat Mas." Senyum kecut Mas Kholid tergambar di bibirnya. Alasannya apa kok tidak ada? Jelas kami tidak mampu menanyakan. Malu, sungkan.

Kami segera menuju tempat parkir. Full Speed, kukayuh sepeda tua. Mengarah ke barat, belok ke utara, keluar kota.

Kemana?

Melaju saja, tidak jelas tujuannya. Dipikir sambil bersepeda. Belok, Ke rumah kenalan. Silaturahmi untuk hutang uang. Senilai bakso dua mangkok. Masya Allah, buka puasa penuh liku. Naik turun perasaan. Antara ikhlas puasa, dan kurang ikhlas berbuka. Ya Allah, terimalah puasa kami. Amin. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun