"Mas, sembako kita habis." Kataku pada Mas Kholid.
Aku dan Mas Kholid teman sekamar. Kami berdua mahasiswa sesama jurusan. Bedanya, Mas Kholid angkatan dua tahun di atasku. Kami bertiga, aku, Mas Kholid, dan Anis (adik kelas kami) berada dalam satu kamar. Bukan tanpa alasan kami bertiga sekamar. Keterbatasan dana, membuat kami rela untel-untelan. Satu orang harus beralaskan tikar. Bergantian, dua orang di kasur, yang lain di tikar.
Kami masak makanan sendiri. Terkadang belanja bahan masakan di pasar bersama-sama. Lain waktu menanti penjual sayur keliling. Melijo, penjual sayur keliling kami sebut melijo.
Iuran uang atau bahan pokok. Beras, garam, bawang merah, minyak goreng dan lain-lain. Semampunya masing-masing dari kami. Yang punya uang lebih, iuran lebih. Jika iurannya kurang, berarti harus masak. Senasib seperjuangan, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.
****
Sore itu, aku akan masak untuk buka puasa. Ternyata, beras dan sayuran sudah tidak tersedia. Anis, yang sambil bekerja di Wartel (Warung Telekomunikasi) sudah dapat jatah buka puasa dari juragannya.
"Harus bagaimana?" Mas Kholid balik bertanya. Aku berdiam diri, belum ada ide menempel di otak. Begitupun dengan Mas Kholid, dia diam seakan berpikir sesuatu.
"Lha!" Tiba-tiba kami berdua seakan menemukan sesuatu yang sama.
"Sampean dulu Mas." Aku mempersilahkan Mas Kholid mengutarakan isi pikirannya terlebih dahulu.
"Yuk! Kita bersama-sama ke Masjid. Insya Allah di sana ada takjil gratis."