Perkembangan teknologi yang begitu cepat ikut merubah kebiasaan dan gaya hidup masyarakat. Kini orang bisa berbelanja apapun tanpa harus keluar rumah. Membayar angsuran tanpa harus datang ke bank. Pesan tiket dan hotel tanpa harus pergi ke travel. Semuanya bisa dilakukan melalui sebuah smartphone.
Kita hidup disebuah era yang disebut sebagai era revolusi industri 4.0. Dimana kenyamanan dan kemudahan dalam pelayanan menjadi kunci sukses dalam menjalankan sebuah bisnis.
Institusi bisnis yang tidak segera berbenah akan terdisrupsi. Banyak perusahaan besar yang kini hanya tinggal kenangan. Mereka kalah bersaing dengan pemain-pemain baru yang memanfaatkan smartphone dan internet sebagai basis dalam menjalankan bisnisnya (startup).
Disrupsi era ini tidak hanya menghantam institusi bisnis saja. Dampaknya akan dirasakan juga oleh lembaga-lembaga filantropi, yang selama ini berperan sebagai pemain utama "penolong masyarakat".
Dulu orang yang mau berderma menitipkan bantuannya kepada lembaga-lembaga filantropi. Merekalah yang menjadi jembatan penyambung antara sidermawan dengan masyarakat yang membutuhkan.
Namun dengan perkembangan teknologi, kini banyak bermunculan flatform-flatform yang melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh lembaga filantropi. Sebut saja misalnya kitabisa, pedulisehat, berbagiberas dll. Yang rata-rata diinisiasi dan digagas oleh anak-anak muda.
Mereka menggalang bantuan dan berkampanye dengan memanfaatkan pendekatan teknologi. Cara kerjanya lebih efisien, lebih cepat, lebih tepat dan lebih transparan. Masyarakat yang ikut berdonasi bisa mendapatkan informasi secara update terkait donasi yang mereka berikan, sehingga masyarakat bisa lebih percaya.
Kalau lembaga-lembaga filantropi konvensional ingin tetap bertahan, mau tidak mau harus segera berbenah. Harus peka dengan perubahan zaman. Tidak harus gengsi untuk belajar dari anak-anak muda yang kini menjadi model baru aktifis sosial.