Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Koalisi Perubahan Sebaiknya Tak Diskusi di Media

11 Maret 2023   08:31 Diperbarui: 11 Maret 2023   08:37 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana cara menggaet pemilik vox pop agar mau menjatuhkan pilihan kepada satu kelompok politik..? Jika pernah ikut pemilu dan diberi kesempatan pegang kekuasaan, berikanlah bukti, bukan janji. Benar-benarlah mengayomi masyarakat. Penuhi kebutuhannya, layani keperluannya dan selesaikan masalahnya. Kalau perlu, sekali-kali sambangi kerumahnya, meski sedekar berucap salam. Niscaya saat pemilu berikutnya, mereka tak segan kembali memberikan suara.

Kalau belum pernah ikut pemilu, tebarkanlah kesan baik. Tunjukkan hal-hal positif yang sekiranya mampu menggugah hati. Hingga pada akhirnya masyarakat “jatuh cinta”. Dalam konteks ini, tak salah jika ada kelompok atau individu politik yang ingin tarung di pemilu memasang banner, spanduk, baliho dsb. Itu semua dilakukan, ya semata-mata demi memberikan kesan baik tadi.

Meski bukan anggota atau simpatisan satu partai politik, Anies Baswedan adalah seorang politisi. Pernah merasakan pahit getir tarung secara langsung rebutan suara saat pilkada DKI Jakarta 2017. Lepas dari soal strateginya yang kata beberapa orang menggunakan politik identitas, ketika itu Anies terbukti menang. Sanggup mengalahkan incumbent bernama Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok.

Walau demikian, dalam soal pilpres Anies sama sekali tak punya pengalaman. Jangan dikira kemenangan rebutan vox pop di DKI kapan hari itu dapat dijadikan pegangan untuk pertarungan pemilu presiden ya. Sama-sama ingin dapat suara memang. Tapi kompleksitas persoalan yang melingkupi pilkada dan pilpres sangatlah jauh berbeda.

Pertama dari segi luas wilayah. Bagaimanapun juga, kondisi ini pastilah banyak menguras sumber daya. Terutama tenaga dan biaya. Ingin ketemu satu komunitas masyarakat, cukup pakai kendaraan darat dan butuh waktu tak terlalu lama, kelar urusan. Hitung-hitung, masa kampanye yang berkisar satu bulan misalnya, bisa jadi sanggup menjangkau sekitar 80 hingga 90 persen warga DKI.

Kedua, dari segi latar belakang ideologi dan budaya. Heterogenitas penghuni DKI memang sudah dikenal sangat beragam. Hampir seluruh “model” warga negara Indonesia ada di Jakarta. Hanya saja, dari segi kuantitas pastilah tidak sebanyak jumlah hitungan riil secara nasional. Terlebih, penduduknya mayoritas beragama islam. Maka kondisi demikian membuat Anies dan Tim tak kesulitan melakukan konsolidasi. Hingga pada akhirnya mampu jadi pemenang.

Tapi untuk pilpres tak semudah itu. Ingat ya, sekarang ini negara kita sudah memiliki 38 provinsi. Sementara Jakarta hanya salah satu diantara yang 38 wilayah itu. Okelah, di provinsi yang disebut juga Daerah Khusus Ibu Kota ini diangap beres oleh Anies dan partai pengusung. Dalam arti jika jadi ikut pilpres, di Jakarta Anies akan sukses merebut suara terbanyak.

Masalahnya sekarang, bagaimana dengan 37 provinsi lain..? Apakah gambaran kemenangan di DKI Jakarta dapat dijadikan pedoman, bahwa di 37 provisi lain suara Anies juga akan menang..? Pastinya, ya tidak begitu Mas Brow. DKI ya DKI. Sementara 37 provinsi lain tentu punya arah dan kecenderungan berbeda. Lagipula saya tak yakin. Dalam pilpres Anies mampu mengunjungi hingga 80 atau 90 persen rakyat Indonesia. Sebagaimana ketika bertemu dengan warga DKI saat pilkada.

Menyamakan model pertarungan Pilkada DKI Jakarta 2017 dengan Pilpres 2024 adalah satu kekeliruan besar. Jika Anies, partai pengusung dan tim maksa, tak ada pilihan lain yang didapat kecuali kekalahan. Namun saya bisa menebak. Bahwa mereka semua sudah paham kondisi tersebut. Mengapa, karena yang ada dibelakang Anies merupakan para tokoh politik ahli strategi yang sudah kenyang makan asam garam dunia politik.

Hanya saja, makin kebelakang dekat pilpres, saya amati tingkah polah para elit partai calon pengusung Anies Baswedan kelihatan kontra produktif dengan tujuan mereka untuk membawa pulang kemenangan. Akibatnya, kesan yang terpatri dari rencana pertemanan yang akan diberi nama Koalisi Perubahan atau KP itu bukannya simpati. Tapi malah antipati. Minimal bagi saya sendiri.

Padahal, kesan itu sebenarnya yang bisa dijadikan satu-satunya jalan mengatasi kendala jarak dan ragam latar belakang ideologi dan budaya. Tentunya yang dimaksud adalah kesan yang positif. Biar dah Anies tak sempat keliling menemui 80 hingga 90 persen penduduk Indonesia. Tapi kalau berhasil menanamkan kesan positif, Anies tetap akan diminati oleh para pemilik suara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun