Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ada Skenario Tunda Pemilu dan Penerapan Proporsional Tertutup?

3 Maret 2023   08:04 Diperbarui: 3 Maret 2023   08:07 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Surat Suara Pemilu, Sumber Foto Kompas.com

Kemarin beberapa media menayangkan berita tentang kecukupan syarat Presidential Threshold pencapresan Anies Baswedan pasca Demokrat secara resmi menyatakan dukungan. Tapi mengiringi berita itu, ramai juga soal putusan Pengadilan Negeri atau PN Jakarta Pusat/Jakpus yang memenangkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap KPU RI. Isi putusan cukup menghentak. PN Jakpus memerintahkan KPU untuk menunda pemilu.

Dua berita diatas tentu menarik. Tapi putusan PN jauh lebih penting untuk dibicarakan. Mengapa..? 

Pertama, soal kecukupan syarat pencapresan Anies sudah dari dulu terpenuhi.Yang dilakukan Demokrat kemarin cuma formalitas. Kedua, meski cukup syarat, kalau pemilu ditunda, ya jadi percuma. Lha gimana mau jadi kontestan, jika arenanya tidak ada..? Masak Anies tengak-tenguk mau menyelenggarakan pemilu sendiri. Kan tak mungkin.

Kembali ke putusan PN Jakpus. Ada tujuh pokok perkara materi gugatan Partai Prima kepada KPU yang dikabulkan oleh PN. Yang paling relevan untuk tulisan ini adalah pada point nomor 5. Yang intinya adalah menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 yang belum jalan sejak putusan diucapkan. Dan KPU diharuskan untuk mengulang lagi tahapan Pemilu dari awal selama kurang lebih 2 tahun 7 hari.

Artinya apa..? Kegiatan sekarang yang sudah berada di penjaringan bakal calon anggota legislatif oleh beberapa partai politik, harus dihentikan. Serta KPU diwajibkan untuk menyusun ulang tahapan. Kembali dimulai dari verifikasi parpol, lalu dilanjutkan pada proses-proses berikutnya hingga nanti masuk pada hari pencoblosan sampai batas waktu sesuai putusan PN Jakpus. What..?

Anda tahu apa dampak putusan PN itu jika tak dilawan..? Ya benar. Waktu pencoblosan yang mestinya terjadi pada tahun 2024 akan bergeser pada tahun 2025. Atau dua tahun lagi sejak dari sekarang. Dampak lanjutan, masa jabatan seluruh anggota legislatif, baik dari level pusat hingga daerah, juga kepala daerah dan terlebih presiden, harus diperpanjang. Agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan.

Hebat nian putusan PN Jakpus. Makanya masyarakat bereaksi. Disarikan dari beberapa tanyangan Kompas.com, eks Ketua Mahkamah Konstitusi atau MK Hamdan Zoelva terkejut. Hamdan menilai, PN Jakpus telah mengeluarkan putusan yang melampaui kewenangan dan kompetensinya. Sementara itu, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menyebut putusan itu tak sesuai yurisdiksi.

Senada, sebuah lembaga bernama Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem memberi reaksi negatif. Salah seorang Anggota Dewan Pembinanya Mbak Titi Angraeni menyatakan putusan PN janggal, aneh dan mencurigakan. Bahkan, masih kata Mbak Titi, PN Jakpus sudah melakukan pelanggaran secara terbuka terhadap amanat konstitusi yang berlaku di negara kita.

Menyimak Mbak Titi, saya lalu teringat penilaian Anggota Komisi III DPR RI Benny K. Harman. Pada pertengahan bulan Pebruari 2023 lalu, meski tak bisa dipastikan Benny mencium aroma dana besar yang digunakan untuk merealisasikan penundaan pesta demokrasi itu. Benny lalu berharap agar PPATK turun tangan melakukan penelusuran (Kompas.com, 15/02/2023).

Sebenarnya, apa yang diputuskan oleh PN Jakpus merupakan kelanjutan dari wacana penundaan pemilu yang sempat ramai beberapa waktu lalu. Saya kira, dengan banyaknya penolakan dari berbagai elemen masyarakat dan tokoh politik, akan berhenti dengan sendirinya. Tapi nyatanya, perkiraan saya salah besar. Wacana berlanjut. Bahkan kini sudah memiliki legalitas formal. Lewat putusan pengadilan yang bersifat wajib untuk di eksekusi. Artinya harus dilaksanakan.

Untungnya KPU menolak. “KPU akan upaya hukum banding”, kata Ketuanya Hasyim Asy’ari. Bagi saya, sikap ini tepat. Mengapa, karena regulasi tentang pemilu yang berlaku dinegara kita tak mengenal istilah tunda pemilu. Adanya cuma pemilu lanjutan dan susulan. Itupun melalui syarat amat ketat. Misal ada bencana alam, kerusuhan dan sejenisnya, yang menyebabkan tahapan pemilu tak terselenggara dengan sempurna.

Sementara itu pada sisi lain, meski legal dan dijamin undang-undang, keputusan PN Jakpus jelas menggangu perjalanan KPU. Pikiran saya lalu jadi liar. Menjalar kemana-mana tak tentu arah dan tujuan. Selanjutnya muncul pertanyaan menggelitik. Jangan-jangan hal itu memang sengaja diciptakan untuk keinginan tertentu..? Melanggengkan kekuasaan..? Status quo jabatan..? Kreasi meneruskan kepentingan capital karena ada yang belum masuk target..?

Pikiran liar saya makin menjadi-jadi, tatkala melihat kengototan pihak yang ingin mengembalikan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup. Bisa jadi, upaya merubah sistem pemilu itu hanya alat perantara. Bukan tujuan yang sesungguhnya. Karena itu, perlu di desain sedemikian rupa sebagaimana usaha menunda pemilu. Sebab kalau tidak, sulit menemukan alasan kuat.

Mungkin tujuan sebenarnya adalah menciptakan gangguan opini. Hingga ditengah masyarakat muncul kekacauan wacana. Yang kemudian dikreasi lagi, agar belok arah menjadi kecenderungan chaos secara fisik. Jika skenario ini berjalan lancar, maka masuk alasan legal yang diatur dalam undang-undang. Bahwa karena ada kerusuhan yang mengganggu tahapan, maka demi stabilitas pemilu harus di tunda.

Apakah bisa begitu..? Ya bisa saja. Namanya juga politik. Apa sich yang tak mungkin. Wong Gus Dur saja yang tak jelas apa kesalahannya diturunkan dari jabatan presiden sebelum waktunya kok. Apalagi ini. Cuma soal menunda pemilu. Terlebih kalau menyimak apa kata Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet. Makin besar peluangnya untuk terwujud.

Pada satu kesempatan di awal bulan Pebruari 2023 lalu, Bamsoet mengatakan penundaan pemilu tergantung sikap partai politik yang ada di parlemen. Ironisnya, partai pendukung pemerintah di parlemen punya suara mayoritas. Artinya, kalau mereka semua “luluh hatinya” dan sepakat satu suara membawa aspirasi tunda pemilu, apa yang bisa dilakukan oleh Ketua MPR RI, kecuali ketuk palu.

Saya berharap pikiran liar dan sejumlah pertanyaan serta beberapa kemungkinan diatas tidak terjadi. Anggap saja saya sedang halusinasi. Cuma tolong hal tersebut buatlah sebagai teropong pada masa mendatang. Atau seumpama payung. Yang wajib disediakan sebelum hujan. Ketika kita punya niat keluar rumah dan terlihat awan diatas lagi mendung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun