Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik

Umat Islam di Suatu Negara

4 November 2022   07:39 Diperbarui: 4 November 2022   07:53 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD, Foto Dok. Humas Kemenko Polhukam, Via Suara.com

Pada satu kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengingatkan. Bahwa melakukan politik identitas tidak boleh. Karena berbahaya bagi kesatuan masyarakat sebagai bangsa, bahkan juga kemanusiaan. Tapi kalau menampilkan identitas politik tak masalah. Terpenting organisasi politik harus tetap inklusif.

Dimana bedanya..? Disarikan dari AntaraMegapolitan 02/11/2022, Pak Mahfud menjelaskan, politik identitas menjadikan identitas sebagai alat untuk hegemoni, menguasai dan diskriminasi. Seakan-akan yang lain salah. Cuma kelompok sendiri yang benar. Tapi kalau identitas politik, merupakan identitas diri yang tak mungkin terhindarkan. Guna menunjukkan jati diri saat melakukan kerjasama dengan golongan berbeda.

Saya tak hendak memperdebatkan pernyataan Pak Mahfud. Alasannya, karena sebagai pakar hukum dan politik, pasti punya dasar. Lagipula, disini bukan forumnya. Yang menarik adalah, kalau pernyataan Pak Mahfud dikaitkan dengan hubungan antara umat islam dan negara. Sebuah materi, yang kayaknya perlu dibicarakan lebih serius kalau Anies Baswedan jadi nyapres.

Mengapa begitu..? Karena bisa jadi pendukung Pak Anies akan menggunakan simbol dan syariat agama sebagai media menjaring vox pop. Sebagaimana pengalaman pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu. Ingat, didunia politik strategi merupakan bagian tak terpisahkan. Maka merestart ulang konsep kemenangan Anies saat nyagub untuk diterapkan sebagai strategi di pilpres 2024 tidak bisa disalahkan secara hukum. Kecuali dari sisi etika.

Mari kita mulai. Fakta menunjukkan, bahwa umat islam hidup diberbagai negara. Dengan demikian, mau tak mau juga harus tunduk pada berbagai sistem pemerintahan. Apakah negara sekuler atau ideologis, liberal atau konservatif, bukan urusan. Lha bagaimana hendak mempersoalkan bentuk negara atau sistem pemerintahan, kalau faktanya hidup, makan dan minum di tanah tersebut. Apa mau pindah kenegara lain..? Ya tak mungkinlah.

Dengan demikian, kalau bicara soal tempat tinggal, apapun kepercayaan yang dianut, tak bisa dihubungkan dengan batasan wilayah. Atau sebaliknya, wilayah dikaitkan dengan identitas agama. Misal, mengingat warga Amerika atau Eropa mayoritas penganut kristiani, maka umat islam dilarang hidup disini. Sebaliknya di Indonesia. Karena umat muslim dominan, maka warga kristiani atau pemeluk agama lain harus keluar dari bumi nusantara.

Lalu apakah ketika umat muslim tinggal disuatu negara dan tunduk pada pemerintahan macam Amerika atau Eropa tadi dikatakan keluar dari golongan islam..? Ya tak bisa begitu. Disarikan dari pendapat DR. Taufiq Asy-Syawi dalam bukunya "Syura Bukan Demokrasi" terbitan Daar al Wafa', Cairo Mesir, masyarakat islam yang tunduk pada pemerintahan diluar golongan islam, kepadanya tetap merupakan bagian dari umat islam.

Beragama, dalam hal ini islam, adalah ijtihad keyakinan. Merupakan urusan pribadi. Orang atau pihak lain tak boleh ikut campur. Termasuk negara. Meski punya otoritas penuh mengatur warga. Kecuali melakukan hambatan. Umat islam dilarang beribadah misalnya. Ya wajib dilawan. Karena bertentangan dengan hak asasi manusia. Sebuah prinsip yang sangat dijaga betul-betul oleh seluruh negara didunia. Termasuk Indonesia.

Sementara itu, tempat tinggal merupakan bagian dari geografi. Urusannya adalah soal naungan terhadap satu komunitas. Yang namanya komunitas, dalam konteks keyakinan tentu punya anggota beragam. Naah, ini yang mungkin dimaksud Pak Mahfud. Tafsiran saya, bahwa menampilkan identitas keyakinan dalam satu komunitas itu boleh. Tapi menjadikan identitas untuk melokalisir kebenaran, ini yang dilarang.

Dengan demikian, soal hidup bernegara tidak boleh ditarik ke urusan agama. Kecuali itu tadi, sudah dalam taraf mengganggu. Maka seorang muslim yang tinggal di negara Amerika atau Eropa, ya tetap masuk golongan islam. Tidak bisa lalu dikatakan "murtad" atau "kafir". Lagi pula, tak ada satupun dalil di Quran dan Hadits yang mendukung klaim semacam itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun