Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Lahir Pancasila 2022: Benahi Dulu di Dalam, Baru Keluar

1 Juni 2022   22:13 Diperbarui: 1 Juni 2022   22:24 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Garuda Pancasila (Dok. Kompas.com)

Bicara hubungan Indonesia dan pancasila, materi apa yang pantas dibahas..? Jawabnya, bukan lagi soal relevansi. Tapi tentang penerapan nilai. Utamanya secara internal untuk bangsa Indonesia sendiri.

Harus disadari, eksistensi pancasila memang sudah final. Tidak mungkin didiskusikan ulang. Apalagi hendak dibongkar. Baik sebagian maupun seluruhnya. Ibarat pondasi rumah, telah rampung dibuat. Lima butir pancasila yang tersusun secara terstruktur, bagai perpaduan antara dalamnya galian tanah, kerasnya batu, rapinya rajutan kawat besi, bagusnya mutu pasir dan kuatnya ikatan semen. Tercampur jadi satu. Membentuk dasar berdirinya sebuah bangunan. Sangat kokoh sekali.

Mengapa, karena bahan yang dipilih bukan jenis sembarangan. Terbuat dari material kualitas terbaik. Punya ukuran KW satu. Nilainya grade A. Ditambah lagi, yang mengerjakan bukan orang sembarangan. Mereka adalah para tokoh pilihan. Memiliki sertifikat keahlian tingkat internasional. Diakui dunia.

Melihat proses seperti itu, siapa yang masih meragukan pancasila..? Saya rasa tidak ada. Terbukti, sejak baru merdeka hingga kini, keterpaduannya dengan ragam suku, agama dan ras terakit seumpama system. Gerakan antar komponen, berjalan penuh presisi. Dan tidak bisa dibantah, sangat detail dan teliti ketika menyelesaikan masalah kebangsaan yang pernah terjadi. Bukan hanya sekali. Tapi bahkan sudah berkali-kali.

Sebab itu, sebagai orang Indonesia, sepatutnya tidak bicara lagi soal relevansi. Mestinya terlarang. Bisa digolongkan sebagai perbuatan tabu. Kalau perlu, dibuat regulasi yang mengatur tentang itu. Bandingannya sama dengan peraturan tentang larangan soal PKI hidup di Indonesia. Jika maksa, sebutan makar pantas untuk disematkan.

Namun demikian, meskipun relevansinya sudah final, diskusi soal penerapan nilai pancasila justru sebaliknya. Tidak boleh dihentikan. Harus terjadi secara terus menerus sesuai perkembangan jaman. Dan untuk soal yang satu ini, negara harus menjamin. Sebab kalau tidak, alamat terjadi stagnan. Indonesia tidak akan pernah maju. Akan ditinggal oleh negara-negara lain.

Relevansi pancasila dengan penerapan nilai adalah dua hal berbeda. Jika yang pertama bicara soal dasar negara, maka yang kedua membahas tentang perilaku warganya. Jika yang pertama tidak bisa diotak-atik, maka yang kedua justru harus dibedah habis-habisan. Ibarat sebuah rumah, relevansi pancasila adalah pondasinya. Sementara penerapan nilai adalah bangunan yang berdiri diatasnya. Jika bangunan sudah berdiri diatas dasar yang kokoh, maka pondasinya jangan coba-coba untuk di tata ulang. Dijamin ambruk itu rumah. Tapi kalau hanya merenovasi bangunan, kapanpun bisa dilakukan. Demi menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Selalu up to date. Aktif mengikuti trand terbaru.

Ini sebagaimana kaidah fiqh yang sering dijadikan rujukan oleh para Ulama kalangan Nahdliyin. Bunyinya, "memelihara hal-hal lama yang bagus dan mengambil hal-hal baru yang lebih bagus". Qiyasnya demikian : relevansi pancasila sebagai dasar negara adalah hal lama yang diputuskan oleh para pendiri bangsa. Jadi wajib dipertahankan. Sementara penerapan lima nilai yang terkandung didalamnya, adalah hal-hal baru yang bisa berubah kapan saja.

Misal, sila pertama Yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Dasar pertama ini sampai kapanpun tidak mungkin bisa dicabut. Konsekwensi dari sila pertama ini adalah, setiap warga negara Indonesia wajib memeluk salah satu agama. Tidak boleh atheis, atau ingkar terhadap adanya Tuhan. Namun, akibat adanya tuntutan zaman, penerapan nilai dari dasar pertama ini mengalami perkembangan. 

Dulu, agama yang diakui di Indonesia hanya ada lima. Yakni, islam, Kristen, katholik, hindu dan buddha. Tapi sejak tahun 1998 hingga sekarang, tambah satu lagi menjadi enam. Yakni agama konghuchu. Ini diputuskan, karena kebutuhan makin banyaknya penganut agama ini untuk mendapat legalitas dari pemerintah Indonesia. Sejajar dengan agama-agama sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun