Lingkungan seperti ini bisa menggerus semangat, menurunkan produktivitas, bahkan merusak kesehatan mental pekerja.
Cerita teman saya hanyalah satu potret kecil. Di luar sana, banyak orang mengalami hal serupa. Bedanya, tidak semua punya keberanian untuk keluar dari lingkaran racun itu.
Ada yang memilih diam demi tetap diterima. Ada yang ikut larut dalam ghibah demi bertahan. Ada pula yang pulang kerja dengan hati lelah, merasa asing di tempat yang setiap hari ia masuki.
Toxic workplace ibarat api kecil yang terus menyala di sudut ruangan. Tidak terlihat dari luar, tapi asapnya membuat sesak orang-orang di dalam. Luka yang ditimbulkan tidak selalu tampak fisik, tapi terasa dalam; perasaan tidak dihargai, kehilangan semangat, hingga munculnya stres berkepanjangan.
Mengapa Bisa Terjadi?
Ada beberapa faktor yang membuat toxic workplace muncul dan bertahan:
- Budaya kerja yang dibiarkan liar
Ketika gosip dianggap hal biasa, ketika circle eksklusif dibiarkan ada, maka lama-lama hal ini menjadi “budaya diam” yang dianggap wajar. - Kepemimpinan yang lemah
Pemimpin yang tidak peka atau tidak mau turun tangan terhadap konflik internal justru membiarkan racun tumbuh. - Kurangnya ruang komunikasi sehat
Jika pekerja tidak punya wadah untuk menyampaikan pendapat atau perasaan, mereka melampiaskan di tempat lain dan sering kali dalam bentuk negatif. - Rasa insecure dan persaingan tidak sehat
Banyak toxic workplace lahir dari ketidakmampuan menerima perbedaan dan kelebihan orang lain. Bukannya belajar, sebagian orang malah memilih menjatuhkan.
Bagaimana Menghadapinya?
Menghadapi toxic workplace memang tidak mudah. Tidak semua orang bisa langsung “angkat kaki” dari pekerjaannya, apalagi jika kebutuhan finansial menuntut. Namun, ada beberapa hal yang bisa dilakukan:
- Kenali batasan diri
Tidak semua percakapan perlu diikuti. Tidak semua circle perlu dimasuki. Menjaga jarak dari gosip adalah bentuk melindungi diri. - Cari sekutu yang sehat
Selalu ada orang baik di tempat kerja. Mungkin tidak banyak, tapi cukup untuk menjadi teman berbagi. Lingkaran kecil yang sehat bisa jadi penopang. - Fokus pada karya
Biarlah orang lain sibuk dengan ghibah, sementara kita sibuk dengan hasil kerja. Kualitas yang konsisten akan berbicara lebih lantang daripada gosip. - Komunikasikan dengan berani
Jika memungkinkan, sampaikan pada atasan atau HRD mengenai dinamika yang terjadi. Racun hanya bisa diberantas jika ada yang berani membuka suara. - Pertimbangkan untuk pindah
Jika racun sudah terlalu parah dan tak ada perubahan, mungkin langkah terbaik adalah mencari ruang kerja baru. Tidak ada pekerjaan yang sebanding dengan rusaknya kesehatan mental. Namun jika ini terasa sulit karena pertimbangan usia, coba untuk membuka usaha sesuai kemampuan kita. - Tingkatkan potensi diri dengan kinerja yang baik dan berprestasi meskipun diraih di luar lembaga atau instansi tempat kita bekerja
Kantor sebagai Rumah Kedua?
Kita sering mendengar ungkapan bahwa kantor adalah rumah kedua. Tapi apa artinya jika rumah itu dipenuhi racun? Rumah seharusnya memberi rasa aman, bukan rasa takut.
Pengalaman teman saya mengingatkan bahwa bekerja bukan hanya soal gaji, tapi juga soal kesehatan batin. Lingkungan kerja yang sehat seharusnya membangun, bukan meruntuhkan. Seharusnya memberi ruang tumbuh, bukan mematikan potensi.
Toxic workplace adalah alarm keras bagi dunia kerja kita. Ia bukan sekadar isu sepele, tapi cermin dari bagaimana kita memperlakukan manusia lain di tempat yang mestinya menjadi ruang kolaborasi.
Menjaga Diri, Menjaga Sesama
Tidak semua racun bisa kita singkirkan. Namun kita bisa memilih untuk tidak menelannya. Kita bisa memilih untuk tidak ikut menebarkannya.
Teman saya memilih keluar dari lingkaran ghibah meski berisiko dikucilkan. Itu keputusan sulit, tapi sekaligus bukti bahwa menjaga integritas diri jauh lebih berharga daripada sekadar menjadi bagian dari kelompok yang salah arah.