"Keluarga yang beragam generasi adalah kekuatan yang luar biasa. Generasi tua dapat memberikan kebijaksanaan dan pengalaman, sementara generasi muda dapat membawa energi dan semangat baru." - Paus Fransiskus
Saya dibesarkan oleh ibu saya seorang diri. Ayah sudah tiada sejak saya masih duduk di kelas dua SMP. Ibu saya, wanita yang tangguh dan penuh perjuangan, hidup dalam semangat generasi lamanya, keras dalam prinsip, kaku dalam cara, tapi selalu ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Kini, waktu berputar. Saya menjadi ibu tunggal dari tiga anak yang lahir di zaman digital, tergolong dalam apa yang disebut sebagai “generasi strawberry”; anak-anak yang kreatif, ekspresif, lembut, dan peka, namun juga mudah terluka oleh tekanan.
Dan saya? Saya terjepit di antara dua zaman. Saya merupakan bagian dari generasi sandwich.
Penerjemah Kasih Sayang Lintas Zaman
Tinggal satu rumah bersama ibu yang sudah lanjut usia dan anak-anak yang tumbuh dengan cepat bukanlah hal mudah. Apalagi ibu saya kini mengalami keterbatasan fisik, pendengarannya menurun, penglihatannya melemah, dan sering kali kesulitan menerima perubahan zaman.
Sebaliknya, anak-anak saya hidup dalam dunia yang serba cepat dan terbuka. Keduanya punya cinta, tapi kerap bertabrakan karena cara yang berbeda dalam menunjukkan kasih sayang.
Pernah suatu kali, cucunya tertawa keras saat bermain game online di ruang tengah. Bagi saya itu hal biasa, tetapi tidak bagi ibu saya, itu dianggap tidak sopan. Teguran pun meluncur dengan nada tinggi, padahal anak-anak tidak merasa berbuat salah. Air mata jatuh, suasana jadi tegang, dan saya lagi-lagi harus menjadi penengah.
Saya memahami bahwa ibu saya bukan bermaksud menyakiti. Ia hanya mencoba menjaga nilai-nilai yang diyakininya. Tapi saya juga tahu, anak-anak sekarang butuh ruang aman untuk mengekspresikan diri.
Di antara dua generasi ini, saya belajar bukan hanya menjadi ibu, tapi juga penerjemah kasih sayang lintas zaman.