“Pasar tak pernah benar-benar mati. Ia hanya tidur sejenak, menanti cerita baru untuk dibangunkan.”
Masih di seputaran kawasan Alun-Alun Tugu Malang, tak jauh dari stasiun Kota Malang terdapat pasar yang jaya di era kolonial Belanda.
Kini pasar ini menjadi sentra kuliner yang menjadi tujuan wisatawan baik lokal, domestik, maupun asing, setelah sebelumnya juga mengalami era pasang surut karena situasi zaman yang tak menentu.
Di tengah denyut kota yang semakin modern, pasar ini menjadi pusat perhatian. Pasar yang viral di media sosial ini adalah Pasar Klojen.
Nama ini bukan sekadar titik di peta atau sekumpulan kios di lorong sempit. Ia adalah “fragmen sejarah kota”, ruang perjumpaan warga lintas zaman, dan kini, menjadi destinasi kuliner dan kreativitas urban yang memikat mata dan lidah.
Rencana Besar Hindia Belanda: Membangun Kota lewat Pasar
Pasar Klojen yang didirikan pada tahun 1919 ini merupakan bagian dari rancangan kolonial di kawasan elite Jalan Sophiastraat, yang kini dikenal sebagai “Jalan Cokroaminoto”. Dengan anggaran sebesar ƒ 47.000 gulden, pasar ini dibangun bukan sekadar tempat jual beli, tetapi sebagai pusat perputaran logistik dan ekonomi masyarakat multikultur: Eropa, Tionghoa, dan pribumi.
Dengan denah tertib, atap tinggi, dan ventilasi khas bangunan kolonial, pasar ini merepresentasikan gagasan kebersihan dan keteraturan Eropa dalam tata kota. Ia berdiri tidak jauh dari Balai Kota, gereja tua, dan sekolah-sekolah Belanda, membentuk pusat kehidupan kolonial Kota Malang awal abad ke-20.