"Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun." - Ir Soekarno
Setiap 20 Mei, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Tapi tahun demi tahun, maknanya terasa makin sayup. Upacara digelar, lagu wajib dinyanyikan, tapi benarkah kita masih bangkit? Atau justru terjebak dalam simbolisme yang hampa?
Di tengah pertanyaan itu, sebuah kisah dari tanah Pasundan mengusik nurani: Kang Dedi Mulyadi yang lebih dikenal dengan KDM, mantan Bupati Purwakarta dan anggota DPR RI, kembali menjadi sorotan bukan karena jabatannya sebagai gubernur Jawa Barat melainkan karena keberaniannya membina siswa yang nakalnya tak terkendali dalam barak ala militer. Tak mudah, karena kebijakan ini ditentang beberapa pihak, terlebih Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Bukan Penjara, tapi Tempat Pulang
Kita ketahui bersama bahwa sebanyak 39 siswa di Purwakarta, Jawa Barat telah selesai mengikuti pendidikan karakter di barak militer, tepatnya di Markas Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Purwakarta selama 14 hari.
Di tempat ini mereka dibina dan dilatih dalam hal bela negara, disiplin, dan tanggung jawab. Dan dua pekan ke depan, mereka akan kembali ke barak mengikuti sesi penyegaran atau refresh untuk memastikan perubahan perilaku supaya terjaga dan berkelanjutan.
Dalam barak karakter, dilakukan pembinaan bagi pelajar yang sebelumnya menunjukkan perilaku menyimpang seperti sering tawuran, ikut geng motor, mengonsumsi minuman keras, kecanduan game online, sering membolos, serta tidak patuh pada orang tua.
Mereka tidak dilatih untuk bertempur, melainkan untuk membangun ketahanan mental, kebugaran fisik, dan yang terpenting adalah dilatih untuk disiplin dan bertanggung jawab. Mereka dibina untuk bangun pagi, bersih-bersih, latihan fisik, lalu belajar nilai-nilai kehidupan. Semua dijalankan dalam ritme yang disiplin, tapi tetap penuh kasih.
Barak ini bukan tempat hukuman. Bukan pula sekadar proyek pencitraan. Ia adalah ruang harapan. Di sanalah anak-anak yang kerap dipanggil “nakal” atau “susah diatur” ditampung, dibina, dan didampingi secara manusiawi namun tegas. Bukan sebagaimana kenyataan sebelumnya anak-anak seperti ini diasingkan dan dijauhi karena perbuatannya yang dianggap merusak dan menggangu.