Mohon tunggu...
Yuzi Oktavianti
Yuzi Oktavianti Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Biasa yang Biasa di Luar

Menyendiri dalam keramaian itu asyik

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Menghitung Modal Politik Mulyadi pada Pilkada Sumbar

24 November 2020   19:40 Diperbarui: 24 November 2020   19:48 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasrul Abit dan Indra Catri, pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Nomor Urut 2,  ketika istirahat jeda segmen Debat Pilgub Sumbar, Senin (23/11)/istimewa

Dalam debat calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat (Sumbar) yang ditayangkan TVRI Sumbar, Senin (23/11), Mulyadi membahas kerja politik gubernur dan wakil gubernur dengan pemerintah pusat. Ini menarik karena kerja politik berhubungan dengan modal politik. 

Hal ini bertambah menarik jika kita hitung modal politik Mulyadi setelah dia membuang PDI-P sebagai partai pengusungnya pada Pilkada Sumbar 2020. Padahal, PDI-P adalah partai penguasa saat ini. Sebelum membahas ini lebih lanjut, kita tarik dulu ceritanya ke belakang mengapa Mulyadi membahas kerja politik tersebut.

Awalnya moderator debat menyinggung soal daratan Sumbar yang lebih dari separuhnya merupakan hutan. Tujuh puluh persen dari hutan itu berstatus hutan suaka alam dan hutan lindung. Ketika membahas hutan lindung, Mulyadi mengatakan bahwa ia pernah menyampaikan kepada Kementerian Keuangan bahwa Sumatra Barat jangan hanya disuruh menjaga paru-paru dunia.

"Kita memiliki hutan lindung, hutan konservasi, tapi Sumatera Barat tidak mendapat insentif apa-apa dari konsekuensi kita memiliki hutan lindung dan hutan konservasi. Ini kan tidak adil. Ini adalah sebuah kerja politik yang harus dilakukan oleh gubernur kepada pemerintah pusat. Masa kita menjaga paru-paru dunia, bahkan dunia internasional. 

Saya dengar Pak Nasrul Abit kesulitan membuat jalan dari Pesisir Selatan ke Solok Selatan, salah satu hambatannya adalah hutan konservasi. Ini harus kita lakukan kerja politik yang cerdas. Kita harus meyakinkan pemerintah pusat ini tidak boleh berlama-lama hal ini dibiarkan," kata Mulyadi.

Ketika dipersilakan menanggapi komentar Mulyadi oleh moderator, Nasrul Abit mengatakan bahwa kewenangan hutan lindung tidak berada pada pemerintah provinsi karena kewenangan pemerintah pusat.

"Untuk itu, saya melihat, kalau kita hanya menunggu, tidak dapat apa-apa selama ini. Saya dulu dengan Pak Darizal Basir sudah berusaha, tahun 2000, gak dapat apa-apa. Menurut saya, langkah ke depan adalah bagaimana kita merobah tata ruang selama lima tahun itu. Kita berkomunikasi dengan Kementerian Kehutanan, dengan BKPSDA, dan kita lakukan. Apa yang akan kita lakukan itu adalah bagaimana kita membangun infrastruktur yang baik," tuturnya.

Mulyadi lalu menanggapi Nasrul Abit lagi dengan mengatakan, "Tadi dikatakan bahwa itu kewenangan pusat. Itulah fungsi dari gubernur. Gubernur itu harus mampu meyakinkan pemerintah pusat. Bukan hanya pasrah terhadap nasib Sumatera Barat, yang dari tahun ke tahun nyaris tidak ada perubahan. Inilah kerja politik. Gubernur, wakil gubernur itu bukan pegawai. Gubernur, wakil gubernur adalah jabatan politik. Harus melakukan kerja politik."

 Ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas dari komentar Mulyadi itu.

Pertama, agar Sumbar mendapatkan insentif dari menjaga hutan konservasi dan hutan lindung, gubernur harus melakukan kerja politik kepada pemerintah pusat. Ini ide bagus, tetapi tidak bagus dilakukan oleh Mulyadi. Alasannya, Mulyadi sudah mencampakkan PDI-P, yang merupakan partai penguasaa saat ini. PDI-P tidak akan melupakan itu, setidaknya tidak akan melupakannya dalam waktu dekat, karena mereka kecewa berat. 

Selama PDI-P berkuasa, Mulyadi (jika menjadi Gubernur Sumbar) akan sulit melakukan kerja politik untuk melobi pemerintah pusat karena "dosa" yang telah ia lakukan terhadap PDI-P di Sumbar. Jika membahas modal politik, modal politik Mulyadi saat ini kecil karena "berlawanan" secara politik dengan partai penguasa.

Kedua, supaya jalan Kambang (Pesisir Selatan) dengan Muaralabuh (Solok Selatan) dibangun, Pemprov Sumbar harus melakukan kerja politik yang cerdas untuk meyakinkan pemerintah pusat untuk memberikan izin pembangunan jalan di hutan konservasi itu. 

Tiap pilkada, baik Pilkada Pesisir Selatan dan Solok Selatan maupun Pikkada Sumbar, pembangunan jalan Kambang---Muarolabuh selalu menjadi dagangan politik para calon pemimpin. Hasilnya, sampai saat ini jalan itu tidak kunjung dibangun karena memang persoalan ini tidak sesederhana seperti yang dikatakan Mulyadi. 

Izin untuk memanfaatkan hutan konservasi memang berada di pemerintah pusat. Pemerintah pusat tidak mudah mengeluarkan izin itu karena Indonesia termasuk ke dalam negara G-20 yang bersepakat menjaga iklim dunia, salah satunya menjaga paru-paru dunia di hutan konservasi. Kalau mengeluarkan izin pembangunan jalan di hutan konservasi, Indonesia melanggar kesepakatan tersebut. Akibatnya, Indonesia akan disoroti dunia, termasuk mendapat kecaman dari dunia internasional.

Ketiga, Mulyadi menyebut bahwa Nasrul Abit pasrah terhadap nasib Sumbar karena Nasrul Abit mengatakan bahwa kewenangan hutan konservasi itu berada di pemerintah pusat. Mulyadi keliru menanggapi komentar Nasrul Abit karena salah memahami komentar tersebut. 

Nasrul Abit mengawali komentarnya dengan mengatakan bahwa kewenangan hutan konservasi itu berada di pemerintah pusat. Setelah itu, dia mengatakan bahwa sewaktu menjadi Wakil Bupati Pesisir Selatan mendamping Darizal Basir pada tahun 2000, dia sudah mencoba melobi (melakukan kerja politik) pemerintah pusat, tetapi tidak berhasil. 

Jadi, jauh sebelum Mulyadi bicara soal kerja politik, Nasrul Abit sudah melakukan kerja politik itu. Hasilnya, dia gagal karena pemerintah pusat memang tidak mudah mengeluarkan izin pemanfaatan hutan konservasi itu. Seperti yang saya jelaskan pada poin kedua tadi, persoalan hutan konservasi itu persoalan menjaga iklin dunia, yang disepakati oleh Indonesia dalam perjanjian dengan negara-negara G-20.

Tentang kerja politik dan modal politik, Nasrul Abit justru memiliki modal politik yang bagus sekarang karena Gerindra, partai pengusungnya berkoalisi dengan partai penguasa, yakni PDI-P. Jika menjadi Gubernur Sumbar, Nasrul Abit akan mudah berkomunikasi dengan pemerintah pusat karena Ketua Umum Gerindra merupakan salah satu menteri yang disegani di pemerintah pusat. 

Masyarakat Sumbar boleh tidak suka terhadap PDI-P, tetapi masyarakat Sumbar tidak bisa menafikan bahwa PDI-P saat ini berkuasa. Suka tidak suka, mau tidak mau, Sumbar memang bergantung kepada pemerintah pusat karena dana APBD Sumbar kecil, yang lebih dari separuhnya digunakan untuk membayar gaji PNS. Selama ini Sumbar bergantung pada APBN untuk melakukan pembangunan. Jadi, pinggirkan dulu ketidaksukaan terhadap PDI-P jika pembangunan Sumbar ingin berjalan dengan cepat selama beberapa tahun ke depan atau selama PDI-P berkuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun