Mohon tunggu...
Yuzi Oktavianti
Yuzi Oktavianti Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Biasa yang Biasa di Luar

Menyendiri dalam keramaian itu asyik

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Menghitung Modal Politik Mulyadi pada Pilkada Sumbar

24 November 2020   19:40 Diperbarui: 24 November 2020   19:48 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasrul Abit dan Indra Catri, pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Nomor Urut 2,  ketika istirahat jeda segmen Debat Pilgub Sumbar, Senin (23/11)/istimewa

Kedua, supaya jalan Kambang (Pesisir Selatan) dengan Muaralabuh (Solok Selatan) dibangun, Pemprov Sumbar harus melakukan kerja politik yang cerdas untuk meyakinkan pemerintah pusat untuk memberikan izin pembangunan jalan di hutan konservasi itu. 

Tiap pilkada, baik Pilkada Pesisir Selatan dan Solok Selatan maupun Pikkada Sumbar, pembangunan jalan Kambang---Muarolabuh selalu menjadi dagangan politik para calon pemimpin. Hasilnya, sampai saat ini jalan itu tidak kunjung dibangun karena memang persoalan ini tidak sesederhana seperti yang dikatakan Mulyadi. 

Izin untuk memanfaatkan hutan konservasi memang berada di pemerintah pusat. Pemerintah pusat tidak mudah mengeluarkan izin itu karena Indonesia termasuk ke dalam negara G-20 yang bersepakat menjaga iklim dunia, salah satunya menjaga paru-paru dunia di hutan konservasi. Kalau mengeluarkan izin pembangunan jalan di hutan konservasi, Indonesia melanggar kesepakatan tersebut. Akibatnya, Indonesia akan disoroti dunia, termasuk mendapat kecaman dari dunia internasional.

Ketiga, Mulyadi menyebut bahwa Nasrul Abit pasrah terhadap nasib Sumbar karena Nasrul Abit mengatakan bahwa kewenangan hutan konservasi itu berada di pemerintah pusat. Mulyadi keliru menanggapi komentar Nasrul Abit karena salah memahami komentar tersebut. 

Nasrul Abit mengawali komentarnya dengan mengatakan bahwa kewenangan hutan konservasi itu berada di pemerintah pusat. Setelah itu, dia mengatakan bahwa sewaktu menjadi Wakil Bupati Pesisir Selatan mendamping Darizal Basir pada tahun 2000, dia sudah mencoba melobi (melakukan kerja politik) pemerintah pusat, tetapi tidak berhasil. 

Jadi, jauh sebelum Mulyadi bicara soal kerja politik, Nasrul Abit sudah melakukan kerja politik itu. Hasilnya, dia gagal karena pemerintah pusat memang tidak mudah mengeluarkan izin pemanfaatan hutan konservasi itu. Seperti yang saya jelaskan pada poin kedua tadi, persoalan hutan konservasi itu persoalan menjaga iklin dunia, yang disepakati oleh Indonesia dalam perjanjian dengan negara-negara G-20.

Tentang kerja politik dan modal politik, Nasrul Abit justru memiliki modal politik yang bagus sekarang karena Gerindra, partai pengusungnya berkoalisi dengan partai penguasa, yakni PDI-P. Jika menjadi Gubernur Sumbar, Nasrul Abit akan mudah berkomunikasi dengan pemerintah pusat karena Ketua Umum Gerindra merupakan salah satu menteri yang disegani di pemerintah pusat. 

Masyarakat Sumbar boleh tidak suka terhadap PDI-P, tetapi masyarakat Sumbar tidak bisa menafikan bahwa PDI-P saat ini berkuasa. Suka tidak suka, mau tidak mau, Sumbar memang bergantung kepada pemerintah pusat karena dana APBD Sumbar kecil, yang lebih dari separuhnya digunakan untuk membayar gaji PNS. Selama ini Sumbar bergantung pada APBN untuk melakukan pembangunan. Jadi, pinggirkan dulu ketidaksukaan terhadap PDI-P jika pembangunan Sumbar ingin berjalan dengan cepat selama beberapa tahun ke depan atau selama PDI-P berkuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun