Foto: Dokumen pribadi
Saat memasuki gerbang kampus, saya mulai memberanikan diri untuk membuka kaca mobil. Maklum saya hidup dan berkehidupan di kota yang sedang menata diri menjadi kota metropolitan. Beresiko kalau dalam mengendarai mobil, kacanya di buka, bukan saja tingkat kriminal yang akan mengancam, namun polusi udara menjadi musuh utama.
Di kota ini Jumlah penduduknya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Macet sudah menjadi langganan sehari-hari. Tingkat strees masyarakat sudah mulai naik, indeks kebahagian pasti akan menurun. Jalan-jalan sudah mulai terasa sesak, laju pertumbuhan jumlah mobil dan kendaraan roda dua semakin meningkat, namun tidak ditunjang dengan perluasan badan jalan.
Ruang publik untuk membaurkan masyarakat dari berbagai golongan semakin minim. Pemerintah, investor dan para pengembang berpacu dengan kecepatan tinggi membangun mal-mal , pusat-pusat perbelanjaan, hiburan kelas, dan wisata yang diperuntukan untuk kalangan berduit.
Kecepatan mobil mulai saya dikurangi, sambil melirik ke kiri dan ke kanan, menikmati sejuknya udara di sore hari. Tidak banyak kendaraan yang lalu lalang, karena di hari libur dan kawasan ini bukanlah kawasan jalan yang diperuntukan untuk umum.
Padahal hanya beberapa kilo sebelum saya masuk ke kampus ini, saya merasakan suasana carut marut kota. Hiruk pikuk bunyi klakson mobi dan motor saling bersahutan untuk saling mendahului satu sama lain. Emosinal yang terganggu karena semrautnya lalu lintas, karena sebagian besar orang tidak mentaati rambu-rambu dan aturan yang benar dalam mengendara.
Suatu kawasan yang diperuntukan untuk civitas akademika, kawasan yang memproduksi sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang handal, saat ini sedang menata diri menjadi kawasan konservasi.
Mata saya tidak berkedip sama sekali , rasa takjub yang tak terhingga, beberapa tahun lalu saya meninggalkan kampus ini dan sekarang sebagai alumni, saya merasakan suasana dan nuansa yang jauh berbeda dibanding saat saya kuliah dulu.
Ekosistem buatan yang sudah diciptakan, menambah khasanah dan kewibaawan kampus . Sepanjang jalan dari gerbang saya melihat pada bagian sisi kiri dan kanan jalan dipenuhi dengan hutan-hutan yang terkesan alami dan tertata tertata rapi. Setiap pohon-pohon diberi merek sesuai dengan nama dan jenisnya.
Sambil berlari-lari kecil menuju waduk buatan, tak lupa saya mengabadikan indahnya ekosistem buatan tersebut. Apalagi saat itu sebagian kecil waduk ditutupi oleh bunga Teratai berwarna ungu dan pink, serta dilengkapi dengan bunyi air mancur yang sengaja dibuat untuk proses Aerasi. Ada tiga jenis waduk di kampus ini, namun waduk yang di depan Rektorat yang sudah bisa dinikmati keindahannnya, sedangkan yang dua wduk lagi sedang dalam proses perbaikan.
Di tengah-tengah waduk ada batu-batu undakan, tersusun dengan formasi sangat indah. Batu undakan ini dapat digunakan oleh pengunjung untuk menyeberangi waduk. Walau diperuntukan untuk pejalan kaki yang ingin menyeberang ataupun menikmati indahnya waduk dari tengah, namun terkadang ada juga pengunjung yang memanfaatkannya sebagai tempat duduk-duduk.
Sekeliling waduk tumbuh pohon-pohon pelindung seperti: pohon Bintaro, pohon pucuk merah, bunga kamboja, bunga Asoka dan lain-lain. Kondisi seperti ini telah membuat saya betah duduk berlama-lama, hampir lupa kalau sudah menjelang Magrib.
Ikan-ikan berenang dengan gembiranya, sekali-kali muncul warna merah keorangean, terkadang hitam keabu-abuan. Ada yang besar dan ada yang kecil. Pengumuman larangan memancing di sekitar waduk terpampang lebar. Tentu saja ini merupakan suatu kebijakan yang dikeluarkan agar ekosistem tidak rusak. Dan hanya waktu-waktu tertentulah bisa dilakukan pemanenan ikan.
Lelah telah terobati, di tengah-tengah langkanya wisata alam di kota Pekanbaru. Kalaupun ada tempat wisata alam, seperti Hutan Tanaman Rakyat (Tahura) Sutan Syarif Kasim di pinggiran kota Pekanbaru, Danau buatan di Rumbai, Taman rekreasi Alam Mayang di Kulim. Namun lokasi jauh dari tempat tinggal saya. Sehingga libur week end lebih banyak diisi dengan wisata kuliner, ke bioskop, atau sekedar jalan-jalan ke mal. Tentu saja kondisi seperti ini akan membuat isi kantong akan terkuras, selain itu secara tidak langsung sudah mengajarkan ke anak-anak pola hidup konsumtif.
Konsep Eco Edu Park, sebenarnya ditujukan untuk riset para dosen dan peneliti, khusus untuk riset-riset yang spesifik. Ada tujuh riset yang dilakukan serta dikolaborasikan menjadi satu. Riset-riset tersebut merupakan penelitian lanjutan dari beberapa dosen UR yang dikembangkan di dalam kampus.
UR memiliki konsep “kampus dalam taman” dengan pemahaman bahwa kampus dikelilingi dengan berbagai jenis tanaman dan pepohonan yang rindang. Terdapat beberapa jenis tanaman lokal yang ada dan bakal ditanam di UR, sehingga kondisi ini bukan hanya membuat hijau lingkungan, namun dengan harapan dari beberapa titik kawasan hijau yang tersebar di beberapa fakultas di kawasan kampus UR, hendaknya dapat dikembangkan dan diangkat secara ilmiah serta dapat pula diperkenalkan dengan masyarakat luas,” jelas Rektor UR.
Walau kawasan ini tidak dicanangkan secara resmi sebagai kawasan wisata, karena ini adalah lingkungan kampus, namun saya perhatikan sudah banyak warga kota yang sudah mulai berdatangan ke lokasi ini, demi menghirup udara segar di tengah-rtengah kota yang sudah mulai sakit.
Kota dengan laju pertumbuhan mal dan pusat perbelanjaan semakin tinggi. Tentu saja akan menjadikan pola hidup masyarakat akan berubah drastis. Gap diantara golongan masyarakat akan semakin terbentuk. Yang kaya akan sibuk ke pusat perbelanjaan mewah, sementara yang menengah ke bawah tetap berada di lingkungannya. Ahirnya sosialisasi anatr masyarakat , antar golongan akan semkin berkurang.
Di tengah-tengah budaya hidup konsumtif sudah melanda warga kota Pekanbaru, sudah saatnya juga pemerintah memperbanyak ruang publik untuk masyarakat. Ruang yang mempertemukan masyarakat dari berbagai golongan, menengah, menengah , menengah ke atas, warga miskin akan bisa membaur satu sama lain.
Apa yang dibutuhkan saat ini bagi warga kota Pekanbaru? Tempat rekreasi alami, yang terjangkau dari kota, dan tentu murah. Konsep “Kota di dalam taman”, mungkin inilah jawabanya, agar kota Pekanbaru bisa sembuh dari sakitnya.