Pendahuluan
Di era cybernetic sekarang ini, fenomena cancel culture telah menjadi kekuatan yang sulit diabaikan.Â
Sebagai sebuah tindakan "pembatalan" terhadap individu atau tokoh publik yang dianggap melakukan kesalahan atau pelanggaran, cancel culture memunculkan perdebatan sengit mengenai batasan antara keadilan dan pembungkaman.Â
Di satu sisi, ia dapat menjadi alat yang ampuh untuk meminta pertanggungjawaban atas tindakan yang merugikan dan mendorong perubahan positif. Namun, di sisi lain, cancel culture juga berpotensi menjadi bumerang yang membungkam kebebasan berekspresi dan menciptakan lingkungan yang represif terhadap perbedaan pendapat.Â
Lantas, bagaimana sebenarnya kita harus menyikapi fenomena ini? Apakah cancel culture adalah bentuk keadilan yang diperlukan, atau justru merupakan manifestasi dari budaya pembungkaman dan main hakim sendiri yang berbahaya? Apakah terjadi juga di negara Indonesia?
Tentu, ini artikel tentang cancel culture di Indonesia:
 Mengenal Cancel Culture yang Terjadi di Indonesia
Cancel culture atau budaya pembatalan adalah sebuah fenomena di mana seseorang atau tokoh publik "dibatalkan" atau dijauhi oleh masyarakat setelah melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap salah atau menyinggung.
Di Indonesia, fenomena ini semakin sering terjadi seiring dengan berkembangnya media sosial. Orang-orang dengan mudah menyampaikan pendapat dan kritik mereka secara daring, bahkan tidak jarang berubah menjadi perundungan.
Cancel culture bisa berawal dari hal yang sederhana, seperti perbedaan pendapat tentang gaya hidup, pilihan politik, atau orientasi seksual. Namun, tidak jarang juga berujung pada perundungan dan ujaran kebencian.