Mohon tunggu...
Yusya Rahmansyah
Yusya Rahmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Siliwangi

Seorang mahasiswa yang besar di dua pulau di Indonesia sumatera dan jawa

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Ngapain Sih "Susyah-Susyah" Jadi Sarjana?

7 April 2020   16:00 Diperbarui: 7 April 2020   16:04 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jadi begini, kemarin kawan-kawan seper-esema-an sudah pada bisa menafkahi dirinya masing-masing. Padahal jika dihitung dari siapa yang duluan melihat sinar terang lampu tempat persalinan, mungkin saya duluan yang ngeliatnya. Tapi ini bukan masalah siapa cepat lihat itu sinar. Melainkan siapa cepat berpenghasilan. Lho kok siapa cepat berpenghasilan? Tapi bukan cuma cepat berpenghasilan saja ya, selebihnya lanjutkan saja dulu membaca tulisan ini.

Iya, jadi siapa cepat berpenghasilan. Setelah lulus dari bangku sekolah menengah atas, ratusan ribu lulusan SMA pasti mulai mencari jalan ninjanya sendiri. 

Ada yang berjibaku lari pagi, siang, sore untuk masuk akademi militer atau kepolisian atau kedinasan, ada yang mati-matian bimbel sana-sini menambah waktu kerja otak demi kampus idaman dan ada yang pasrah menunggu pengumuman kelulusan. Semua itu dilaksanakan dengan seksama dan dalam tempo yang tidak singkat, jadi semua punya tujuan yang sama, sukses.

Pemikiran manusia-manusia yang beranjak dewasa (ambillah rata-rata usia 18-22 tahun) biasanya mulai risau memikirkan masa depannya. “Aku mau jadi apa ya nanti? Ah, jadi sarjana enak nih,” nah kaya gitulah kira-kira. Ada yang punya rencana matang tapi saking matangnya jadi gosong. Ada pula yang hidupnya living the flow. Dan mungkin ada pula yang punya rencana yang masih setengah matang, mirip kuning telur digoreng setengah matang jadi masih agak cair kuning telurnya.

Kawan-kawan tadi yang sudah berpenghasilan, rata-rata melanjutkan kehidupannya setelah es-em-a dengan bekerja. Nominal gaji yang diterimanya dapat dikatakan sudah cukup untuk gonta-ganti gawai setiap dua bulan sekali. Dengan demikian hidup manusia-manusia tadi sudah hilang risaunya. Sebab, masa depannya sudah didapat. Dengan kata lain, dengan penghasilan yang telah diperolehnya. Lho kok masa depan dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh sih? Masa gitu,  ga bisa lah!

Sekarang begini mas, mbak, kang, teh. Setelah menjalankan pendidikan formal S3 (SD, SMP, SMA) anggaplah selanjutnya menyelesaikan kuliah dan jadi Sarjana. Umumnya akan dilanjutkan dengan bekerja, mencari pundi-pundi amal. Eh, maksudnya pundi-pundi keuangan atau penghasilan (Re; uang)

Setelah masa-masa sekolah 12 tahun dan kuliah yang “normalnya” 4 tahun atau delapan semester, masuklah ke dalam masa-masa mencari penghasilan sebab sudah dianggap dewasa, harus bisa cari itu yang namanya pitih. Sejauh ini “normalnya” pemikiran manusia ya seperti itu. Jadi, masa depanmu itu semua ya cuma kerja, kerja, kerja katanya biar ekonomi negara meningkat… kat… kat… kat.

Sampai di sini stigma mencari uang masih lekat dengan kehidupan orang dewasa. Dibandingkan dengan kawan-kawan tadi yang sudah melewati masa risau akan masa depannya tadi. Saya sebagai calon sarjana, masih berpikir keras bagaimana melewati masa risau tanpa ada kerisauan lain yang menunggu, kenapa ya bisa begitu? “Mahasiswa itu harus idealis! Kritis! Kaum akademisi, semua harus dikaji dahulu!” celetukan favorit yang selalu ditunggu oleh para mahasiswa yang sedang berkuliah apalagi yang baru masuk dunia kemahasiswaan. Ya, mahasiswa dikenal sebagai akademisi. Contohnya; bahasa dikaji, ekonomi dikaji, politik dikaji kadang-kadang perihal asal-usul kacang hijau juga dikaji. Hebat sekali mahasiswa, sangat-sangat akademis.

Selain mengkaji, mahasiswa juga suka sekali memperjuangkan hak-hak rakyat. Aksi turun ke jalan membebaskan kaum kecil dari belenggu tirani yang semena-mena. Wih, keren kan? Lihat tuh angkatan ’66, angkatan ’98 semua punya andil dalam muncul dan lenyapnya suatu rezim di Indonesia. Jadi, kenapa saya takut akan kerisauan lain yang menunggu setelah melewati masa risau? Risaunya saya adalah ketika lepas dari nama mahasiswa, berganti dengan gelar Sarjana yang disematkan di akhir nama, semua kesaktian nama mahasiswa itu seakan luruh bersama datangnya gelar Sarjana.

Luruhnya kesaktian-kesaktian pada nama Mahasiswa yang telah luntur diganti dengan gelar Sarjana. Bagi sebagian orang memang tidak terasa penting, sebab setelah sarjana inilah saatnya mencari penghasilan, memiliki pundi uang yang cukup bahkan lebih untuk menjalani kehidupan. Namun, bagi saya lunturnya nama mahasiswa menjadi suatu kerisauan baru. Apakah nanti masih terdengar kajian-kajian ekonomi, politik bahkan bahasa seperti saat menjadi mahasiswa? Atau masih maukah membebaskan kaum kecil dari belenggu tirani yang semena-mena tadi? Atau mungkin lupa, lalu hanya fokus mencari uang saja.

Memang menjadi sarjana membutuhkan proses panjang dan tidak singkat. Selama menjalani proses menjadi mahasiswa sudah seharusnya ketika menjadi mahasiswa, segala kesiapan seperti mental, pikiran dan pengalaman diasah sedemikian rupa di kampus untuk menghadapi yang katanya kehidupan yang sesungguhnya (setelah selesai masa perkuliahan). Melalui kegiatan kampus atau mungkin diskusi dan semacamnya. Belum lagi dengan tugas akhir yang harus diselesaikan demi meraih gelar Sarjana. Perjuangannya susah bung! Apalagi ketika melewati masa-masa sulit khususnya ketika menjadi mahasiswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun