Mohon tunggu...
M. Khusen Yusuf
M. Khusen Yusuf Mohon Tunggu... wiraswasta -

manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Versus Prabowo: Balap Karung Politik Pemimpin Kreasi Media

5 Mei 2014   20:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:50 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 kian dekat. Dinamika politik Indonesia pun semakin memanas. Seperti yang sudah dilansir banyak media, arena “balap karung” calon presiden diprediksi hanya akan diikuti oleh dua capres Joko Widodo dan Prabowo Subianto, plus mungkin satu capres penggembira—entah siapa.

Balap karung politik dua capres ini—Jokowi dan Prabowo—mulai terlihat sengit sejak penyampaian mandat secara terbuka dari Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Jokowi untuk maju sebagai calon presiden 2014-2019. Sejak saat itulah, pertarungan menjadi lebih terbuka. Jokowi yang sebelumnya berlindung di balik karung dengan pernyataannya yang berulang-ulang semacam “copras-capres” dan “ora mikir”, mulai memperlihatkan “kepala”nya dan “mikir copras-capres” Prabowo yang sebelumnya “untup-untup” dari balik karung dan “ngintip” Jokowi, mulai menunjukkan “setengah badan”nya: melakukan serangan terbuka dengan berbagai cara. Perjanjian batutulis dibuka, puisi politik pun mulai disuka.

Imbas dari keputusan Jokowi untuk keluar dari karung balap dan serangan terbuka Prabowo akhirnya terasa. Saya tidak mau ikut-ikutan lembaga survey yang memprediksi elektabilitas Jokowi mulai mengalami penurunan dan Prabowo meningkat linier. Karena prediksi itu bisa diperdebatkan, baik di menara gading intelektual yang katanya mengagungkan netralitas ataupun di pojok komentar berita dan media sosial yang penuh “online army.”

Keterbukaan arena balap karung politik antar dua calon presiden ini sesungguhnya memberikan keuntungan bagi pemilih untuk menimbang-nimbang siapa yang paling layak memimpin Republik ini untuk lima tahun ke depan. Jokowi yang selama ini tercitrakan sebagai sosok yang “manis”, ”penuh empati”, “sederhana”, ”dicintai massa’, mulai diblejeti. Prabowo yang dicitrakan “kuat” juga mulai diusik dengan isu kelam masa lalunya. Melalui media, kita menjadi lebih tahu, sisi positif dan negatif dari masing-masing calon. Kita juga mulai diperlihatkan sisi terang, gelap, dan abu-abu dari mereka.

Setiap detil kelemahan, akan diumbar di media. Ia menjadi amunisi baru untuk menurunkan empati publik. Sekecil apapun kesalahan langkah politik para capres itu, akan dimanfaatkan oleh kompetitor. Kesalahan-kesalahan lama juga akan dikreasi ulang untuk mempengaruhi opini publik terhadap si calon. Dan media adalah “agen” utama untuk melakukan serangan terbuka, dengan segala printil-printil pasukan sosial media.

Melalui media, sosok tokoh dibentuk. Dan melalui media pula, ia diblejeti bahkan dituding tidak layak menjadi tokoh. Dua sosok capres kita ini—Jokowi dan Prabowo—boleh dikata adalah tokoh hasil kreasi media. Lima tahun lalu, nama Jokowi tidak mungkin dikenal oleh rakyat Indonesia, kecuali di kawasan Solo dan sekitarnya. Tetapi, melalui kreasi media massa, sosok Jokowi kemudian muncul menjadi tokoh baru, pemberi harapan baru, dengan segala citra kesederhanaannya. Jokowi menjadi rising star di ranah politik Indonesia. Meski mulai diisukan sebagai sosok yang “tidak independen”, “tergantung pada ibu”, “titipan asing”, Jokowi berhasil mencitrakan diri (atau dicitrakan?) sebagai sosok yang “low profile”, “ora neko-neko”, “sederhana”, “mau melayani”, dan “representasi wong cilik.”

Pun demikian dengan Prabowo. Pasca tumbangnya Orde Baru, ia menghilang sekian lama. Setelah menjadi rising star di militer, namanya meredup dan terlupakan. Ia muncul kembali dan mencoba peruntungan politiknya melalui Konvensi Partai Golkar tahun 2004. Dan kita tahu, ia akhirnya kalah.

Prabowo akhirnya mendirikan partai sendiri—Gerindra. Sadar bahwa kontestasi politik di Indonesia tidak bisa lepas dari kreasi citra melalui media, Prabowo mengeluarkan segala daya untuk membangun citra diri. Iklan politik digenjot habis sebelum Pemilu 2009 dan terus berlanjut hingga kini. Jika dihitung sejak tahun 2004, rentang kerja pencitraan Prabowo sangat panjang. 10 tahun! Dan hasilnya mulai terlihat. Meski masih dibayang-bayangi isu kelam “penculikan aktivis”, Prabowo berhasil mencitrakan diri sebagai sosok yang “kuat”, “tidak mudah tunduk terhadap intervensi asing” dan “memiliki nasionalisme tinggi.” Plus isu-isu populis “pro petani”, “pro buruh”, dan sejenisnya.

Apakah Jokowi bukan sosok yang “kuat”, “tidak mudah tunduk terhadap intervensi asing” dan “memiliki nasionalisme tinggi”? Apakah Prabowo bukan sosok yang “low profile”, “ora neko-neko”, “sederhana”, “mau melayani”, dan “representasi wong cilik”? tentu saja kreasi citra ini bisa diperdebatkan. Yang menjadi pangkal soal bukan itu. Tetapi bagaimana publik bereaksi terhadap citra yang terbentuk dari masing-masing capres itu.

Ketika kreasi citra Jokowi dan Prabowo mulai sukses terbentuk; ketika citra positif yang diinginkan oleh masing-masing pihak mulai menampakkan hasil; ketika citra negatif yang diinginkan oleh lawan politik juga mulai menemukan bentuknya sendiri; pada saat disparitas citra antara dua pembalap karung politik ini sudah terlihat jelas, publik akan lebih mudah memilih: mau A atau B? Yang C—jika pun ada—hanya penggembira semata.

Wallahu a’lam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun