Mohon tunggu...
Yusuf Fajar Mukti
Yusuf Fajar Mukti Mohon Tunggu... Lainnya - Reviewer

Kadang suka ngulik musik email: yusufajarmoekti@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Everyday Life: Aktualisasi Diri Pasca Ingar Bingar Tur Global [Coldplay Album Review]

16 Desember 2020   02:01 Diperbarui: 20 Desember 2020   02:49 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Everyday Life Album Photoshoot

" After everyting we have experienced, in terms of career, what we're left is just a complete love of music and people; and those two fires are burning so strongly in me and all of us on this album." 

- Chris Martin, dalam ALT 98.7FM

Produser       : Rik Simpson, Dan Green, Bill RahkoAngel, Lopez Federico

Rilis                 : 22 November 2019

Label               : Parlophone-Atlantic

Rating            : 8,5/10

Rentetan tur global 'A Head Full of Dreams' dua tahun silam membangun ekspektasi publik akan kemunculan musik yang lebih 'megah' pada album Coldplay selanjutnya. Lagu 'Hymn for The Weekend', 'Adventure of a Lifetime' dan 'Everglow' mendominasi industri musik global pada paruh kedua dekade 2010-an; menyihir panggung dunia dalam lautan Xylobands. Alih-alih demikian, album ke-8 'Everyday Life' justru hadir lebih membumi; meruntuhkan nuansa flamboyan dari album sebelumnya. Dengan nuansa rock eksperimental, gospel, dan arabian, Coldplay mengeksplorasi isu sosial dari kacamata eksotis kehidupan timur tengah: dari lantunan piano melow 'Daddy' hingga semarak trompet fusion 'Arabesque'. Melalui album ini, sudah jelas bahwa mengekspektasikan serta  mengkotakkan 'band rock terbesar abad 21' ini ke dalam genre musik tertentu merupakan usaha sia-sia.

Status album ke-8 menjelaskan banyak hal. Selain sinyal kualitas, sedikitnya jumlah rilisan dalam kurun 20 tahun karir mereka adalah usaha untuk menjaga ketahanan band; menyediakan ruang napas di sela-sela tur yang menguras tenaga dan dari kejenuhan proses produksi album, serta wadah aspirasi artistik bagi anggota. Belajar dari The Beatles, nampaknya Coldplay tidak ingin terjatuh ke jurang perpecahan yang sama. Di tahun 2014, album 'Ghost Stories' berperan sebagai wadah tersebut; setelah dua tahun tur global 'Mylo Xyloto' yang intens. Tahun 2019, 'Everyday Life' mengemban peran yang sama. Mengutip pernyataan Chris Martin, bahwa ekspresi idealisme band  tercermin dalam album ini; menyisakan sedikit ruang untuk komersil. Di saat band rock lain beradaptasi secara pragmatis di tengah gempuran tren musik hip-hop dan trap dalam industri, Coldplay memilih untuk apatis; bahkan memutuskan untuk tidak melakukan tur global.

Satu kata yang mungkin dapat merepresentasikan tema album ini adalah 'kemanusiaan'. Jika album sebelumnya menyuarakan pentingnya kebersamaan dan mimpi-mimpi kehidupan yang indah, maka di album ini dipaparkan realita kemanusiaan yang mencekam. Lagu 'Orphan' menyadur suara anak-anak yatim piatu di daerah konflik suriah dengan balutan musik upbeat bernuansa semangat nan semarak. Lirik:

 "I want to know when I can go, Back and get drunk with my friends"

menggambarkan asa untuk kembali ke kehidupan normal, bercengkerama dengan sebaya seperti sedia kala; menunjukkan bahwa seberat apapun masalah hidup yang menghadang, harapan itu akan selalu ada. Lagu 'Daddy' dikemas dengan lantunan piano melow nan minimalis; secara eksplisit menggambarkan perjalanan seorang anak yang mempertanyakan keberadaan ayahnya. Kenaifan dan keyakinan anak akan pencarian ayahnya yang telah tiada menciptakan kesan suram dan ironi tersendiri di telinga pendengar, terlebih dengan tampilan video musik yang mendukung.

Satu-satunya trivia menarik yang mungkin terdapat di album ini adalah fakta bahwa untuk pertama kalinya, Coldplay menyematkan kata 'kasar' di lagu mereka, tepatnya pada track 'Arabesque' dalam lirik:

"Same fucking blood"

Sekilas terdengar seperti kata yang tidak terlalu istimewa, tetapi tentu menarik apabila terlontar dari sekelompok individu dengan imej 'anak baik' di skena musik rock semacam Coldplay. Semangat eksperimental album nampaknya tidak hanya tercermin dalam komposisi dan aransemen musik, tetapi juga pada susunan lirik. Jika konsisten, tentunya kemunculan bahasa semacam ini diharapkan muncul di album-album berikutnya.

Apabila harus memilih satu lagu terfavorit di antara keseluruhan track, saya tidak ragu untuk menyebut 'Arabesque'. Lagu 'Orphan' mungkin yang paling populer, tetapi 'Arabesque' tentu paling berkesan; ia layaknya purple cow dalam katalog musik Coldplay: sungguh eksotis dan berbeda dari karya sebelumnya. Kolaborasi suara trompet, trombon, saksofon, dan strings khas timur tengah membentuk alunan kombinasi musik rock dan jazz fusion yang unik. Ditambah epilog naratif dan 'kata kasar' di bagian akhir, lagu ini patut mewakili semangat dari tema serta musikalitas keseluruhan album ini. Mendengarkan 'Arabesque' serasa menyaksikan atraksi marching band yang mengiringi kehadiran tentara kerajaan inggris dalam ekspedisi militer di timur tengah awal abad ke-20.

Sementara itu, lagu 'Orphan' nampak mengulangi formula musik yang sama. Tempo cepat 108 bpm dengan iringan gitar, piano, bass, dan paduan suara anak-anak di latar; merupakan suara signature khas Coldplay yang membentuk musik mereka selama ini. Bahkan, saya tidak akan heran jika lagu tersebut disertakan dalam album sebelumnya, 'A Head Full of Dreams', karena memang mempunyai vibe dan nuansa yang masih serupa. Praktis, hanya track ini yang unsur eksperimentalnya relatif sedikit.

Dengan album ini, Coldplay sekali lagi mengukuhkan statusnya sebagai salah satu 'Band Rock terbesar abad 21'. Tidak hanya tetap eksis secara komersil, mereka juga mampu menghadirkan dimensi lain dari musikalitas yang telah dicitrakan selama ini. Mereka lebih dari sekadar band pop rock alternatif dekade 2000-an dengan lagu balada generik semacam 'Yellow' atau 'Fix You'; tetapi juga mampu menembus batas norma dan aturan melalui lagu semacam 'Arabesque' ketika diperlukan. Jika The Beatles mempunyai 'Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Bands' dalam katalog mereka, maka Coldplay boleh bangga dengan kehadiran album 'Everyday life' sebagai wadah refleksi dan aktualisasi diri pasca ingar bingar tur global yang melelahkan. Oleh karena itu, album ini layak mendapatkan nilai 8,5/10.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun