Saya merasa aneh di awal ketika tinggal di sebuah perumahan. Pintu pagar warga semuanya tertutup. Â Terbuka hanya manakala pemilik rumah hendak masuk atau keluar rumah. Â Sesudahnya tertutup kembali. Â Sunyi senyap menghilang di privasinya. Â Seakan masing masing punya dunia sendiri dan tak ingin dibagi. Â Bersapa atau berjumpa bila ada perlunya saja. Â
Berbeda manakala aku masih menginjak tanah kampung yang dulu kutinggali. Â Rumah rumah tiada berpagar. Â Halaman terbuka untuk siapapun yang hendak lewat atau berteduh. Lebih banyak tanaman hias atau pepohonan berkayu yang rindang di depannya. Â Kami bisa bercakap berjauhan dari halaman rumah masing masing. Â Tuada batas kekauan atas nama privasi. Â Bahkan ibu saya sering bersapa ketika di dapur dengan tetangga yang dapurnya berdampinga.. Â Hanya batas tembok tipis pemisahnya yang hanya beratap sebagaian. Â Lewat aroma yang dimasak mereka berkelakar tetangga masaknnya. Â Sesudah kadang makanan tetangga itu sampai di rumah. Â Pun juga masakan kami berkelana di rumah tangga. Â Kebiasaan itu membuat kami begitu kuat toleransi dan kepeduliannya. Â Batas batas bangunan hanya sebagai penegas kami punya wilayah namun bukan untuk memisahkan.
Hemm. Â Saat ini saya begitu rjndu suasana kampung. Â Rasanya sulit melepaskan kebiasaan itu disini. Â Di rumah yang temboknya berdempet namun kekakuannya turut terbangun. Privasi dan pola hidup. Pragmatis begitu kental. Â Seakan tiap rumah memiliki bendera sendiri yang kemerdekaannya begitu dijaga.
Genap tiga tahun hidup di perumahan apakah aku diam diam melunturkan suasana kampung? Â
Seiirng waktu. Â Kebiasaan membuka dan menutup pagar menjadi bagaian dari kekuan yang tersembunyi. Â
Mungkinkah pagar itu diam diam membisiki aku dengan sejuta kenyamanan dari keterusikan? Â
Mengajakku untuk memikirkan urusan sendiri ketimbang mengurusi orang lain.
Mungkin seperti itu.....