Mohon tunggu...
Yusuf Azka
Yusuf Azka Mohon Tunggu... profesional -

belajar dan berbagi di http://yusufanas.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Generasi Rabun Membaca, Pincang Menulis! (Mengutip Beliau, Taufiq Ismail)

20 Januari 2012   16:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:38 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

DARI PASAR DJOHAR KE DJALAN KEDJAKSAAN oleh: Taufiq Ismail sumber foto: google.com [Seminar Nasional Pengembangan Model Pembelajaran Sastra yang Komunikatif dan Kreatif, Universitas Negeri Semarang, Ahad, 7 Juni 2009] Sekolah saya berpindah-pindah, sejak Sekolah Rakjat (sekarang SD) sampai dengan SMA. SR saya di Solo, Semarang, Salatiga, Yogya, SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, Pekalongan dan Whitefish Bay, Wisconsin. Pertumbuhan diri saya berlangsung di delapan kota itu, dan masing-masing kota itu memberi kenangan indah tersendiri. Kedua orangtua saya guru di Pekalongan di masa penjajahan Belanda. Mulai zaman pendudukan Jepang ayah saya jadi wartawan di Semarang, di harian Sinar Baroe (belakangan menjadi Suara Merdeka). Saya belajar di Sekolah Rakjat Indonesia di Bergota, rumah kami di Redjosari Gang I nomor 6. Ayah dan ibu suka membaca. Lemari buku ayah saya besar. Biasanya sekali sebulan saya dibawa ke toko buku di Pasar Djohar, dibonceng naik sepeda. Ikut ayah yang membeli buku, saya boleh memilih dua buku untuk dibawa pulang. Pada umur masih kecil begitu saya sudah mulai membaca roman Tak Putus Dirundung Malang, karya St. Takdir Alisjahbana. Ketika masih pelajar SMP Negeri 1 di Bukittinggi, dan SMA Negeri Pekalongan pada tahun 1950-an, di kedua sekolah saya itu tidak ada perpustakaan. Karena suka membaca, saya jadi anggota Perpustakaan Kota, di Bukittinggi di Jalan Lurus, di Pekalongan di Kali Loji. Kedua-duanya dekat dari sekolah. Sangat kebetulan, ketika di Pekalongan, Djawatan Pendidikan Masjarakat memberikan kepercayaan kepada beberapa LSM, untuk masing-masing mengelola sebuah perpustakaan kecil. Kepada Peladjar Islam Indonesia, diserahkan kl 300 judul buku. Karena beranda rumah orangtua saya besar di Djalan Kedjaksan 52, PII menaruhnya di sana dalam sebuah lemari. Saya dan S.N. Ratmana mengelola perpustakaan yang dibuka sehari seminggu, tiap hari Ahad pagi sampai sore itu. Kawan-kawan di sekolah yang suka membaca, datang meminjam buku. Favorit saya buku-buku petualangan Winnetou karangan Karl May. Lalu puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, cerpen Idrus, Pramudya Ananta Tur, antologi Gema Tanah Air H.B. Jassin, novel Hamka, Takdir Alisjahbana, Abdul Muis, dan seterusnya. Puisi Dunia, terjemahan Taslim Ali, 2 jilid sangat saya sukai. Karena kunci lemari buku saya yang memegang, dan lemari itu terletak di beranda rumah, saya leluasa betul membaca buku dari hari Senin sampai Sabtu. Saya membaca agak sembarangan. Misalnya tuntunan bertanam anggrek Sutan Sanif dan prosedur mengecor beton bertulang Prof. Rooseno pun saya baca. Buku Pak Rooseno yang merupakan buku teks mahasiswa fakultas teknik itu saya bawa-bawa ke sekolah, dilagak-lagakkan kepada teman-teman. Mereka heran. “Kau baca buku itu?” “Ya.” “Tamat?” “Ya.” “Apa isinya?” “’Nggak ‘ngerti.” Mereka pun batal, tak jadi kagum. Beberapa kawan yang gemar membaca ini terdorong pula menulis. Kami penggemar majalah Mimbar Indonesia dan Kisah, yang memuat sajak dan cerpen. Pak H.B. Jassin duduk sebagai redaktur sastra di kedua majalah tersebut. Kami berlomba-lomba mengirim karangan ke sana. Lima orang berhasil menembus kedua majalah itu. Muhsin Djalaludin Zuhdy (sajak), Hadi Utomo (cerpen), Sukamto A.G. (sajak), S.N. Ratmana (cerpen) dan saya (sajak). Yang bertahan terus menulis sampai sekarang adalah dua orang yang terakhir ini. Pada masa bersamaan Ajip Rosidi (Jakarta), W.S. Rendra (Solo), Motinggo Busye (Bukittinggi), Alwi Dahlan (Bukittinggi), Suwardi Idris (Bukittinggi), Nh. Dini (Semarang), S.M. Ardan (Jakarta) juga mulai menulis ketika masih jadi pelajar SMA. Bahkan Ajip dan Busye sudah mencuri start ketika masih di SMP. Kami menulis karena dirangsang bacaan. Buku dan majalah memberi stimulasi besar untuk mengarang. Buku yang kami baca tidak dari perpustakaan sekolah. Karangan yang kami tulis bukan karena dibimbing guru mengarang di kelas bahasa. Guru Bahasa Indonesia saya di SMA Pekalongan lebih mengajarkan tatabahasa dan tak ada perhatian pada pelajaran mengarang. Kami kebetulan saja senang perpustakaan. Kebetulan pula bersaing-saing sesama teman, sehingga berlatih menulis sendiri tanpa dibimbing guru. Beratus-ribu tamatan SMA Indonesia sejak pengakuan kedaulatan 1950 sampai sekarang menjadi Generasi Nol Buku, yang rabun membaca dan lumpuh menulis. Nol Buku karena tidak mendapat tugas membaca melalui perpustakaan sekolah, sehingga rabun membaca. Lumpuh menulis karena hampir tak ada latihan mengarang di sekolah. MEMBANDING DENGAN NEGARA-NEGARA LAIN Antara Juli-Oktober 1997 saya melakukan serangkaian wawancara dengan tamatan SMA 13 negara. Saya bertanya tentang 1) kewajiban membaca buku, 2) tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah, 3) bimbingan menulis dan 4) pengajaran sastra di tempat mereka. Berikut ini tabel jumlah buku sastra yang wajib dibaca selama di SMA bersangkutan (3 atau 4 tahun), yang tercantum di kurikulum, disediakan di perpustakaan sekolah, dibaca tamat lalu siswa menulis mengenainya, dan diuji: Buku Sastra Wajib di SMA 13 Negara Tabel 1 NO ASAL SEKOLAH BUKU WAJIB NAMA SMA / KOTA TAHUN 1 SMA Thailand Selatan 5 judul Narathiwat 1986-1991 2 SMA Malaysia 6 judul Kuala Kangsar 1976-1980 3 SMA Singapura 6 judul Stamford College 1982-1983 4 SMA Brunei Darussalam 7 judul SM Melayu I 1966-1969 5 SMA Rusia Sovyet 12 judul Uva 1980-an 6 SMA Kanada 13 judul Canterbury 1992-1994 7 SMA Jepang 15 judul Urawa 1969-1972 8 SMA Internasional, Swiss 15 judul Jenewa 1991-1994 9 SMA Jerman Barat 22 judul Wanne-Eickel 1966-1975 10 SMA Perancis 30 judul Pontoise 1967-1970 11 SMA Belanda 30 judul Middleburg 1970-1973 12 SMA Amerika Serikat 32 judul Forest Hills 1987-1989 13 AMS Hindia Belanda-A 25 judul Yogyakarta 1939-1942 AMS Hindia Belanda-B 15 judul Malang 1929-1932 SMA Indonesia 0 judul Di Mana Saja 1943-2008 Catatan: Angka di atas hanya berlaku untuk SMA responden (bukan nasional), dan pada tahun-tahun dia bersekolah di situ (bukan permanen). Tapi sebagai pemotretan sesaat, angka perbandingan di atas cukup layak untuk direnungkan bersama. Apabila buku sastra 1) tak disebut di kurikulum, 2) dibaca cuma ringkasannya, 3) siswa tak menulis mengenainya, 4) tidak ada di perpustakaan sekolah, dan 5) tidak diujikan, dianggap nol. Angka nol buku untuk SMA Indonesia sudah berlaku 65 tahun lamanya, dengan kekecualian luarbiasa sedikit pada beberapa SMA tertentu saja. Bila siswa AMS Hindia Belanda wajib membaca buku 25 judul dalam masa 3 tahun, bagaimanakah wajib menulis mereka? Siswa AMS wajib menulis 1 karangan seminggu. Karangan disetor, diperiksa guru, diberi angka, minggu depannya satu karangan lagi, minggu depannya satu karangan lagi. Panjang karangan satu halaman. Jumlahnya 18 karangan satu semester, 36 karangan setahun, 108 karangan 3 tahun. Menurut observasi saya pada beberapa SMA, kewajiban mengarang berlangsung 3-5 kali setahun. Banyak SMA yang cuma sekali setahun, mirip sholat Idulfitri. Jadi dalam 3 tahun paling banyak 15 karangan. Dibanding dengan AMS, jatuhnya serendah 5,2 %. Tabel berikutnya: Tabel 2 No SEKOLAH MENENGAH ATAS WAJIB BACA BUKU (TIGA TAHUN) WAJIB MENULIS KARANGAN (TIGA TAHUN) 1 HINDIA BELANDA 25 JUDUL BUKU 108 KARANGAN 2 REPUBLIK INDONESIA NOL BUKU 3 – 15 KARANGAN Tabel 3 TUGAS MENULIS SISWA AMS HINDIA BELANDA TUGAS MENULIS SISWA MALAYSIA (SMA KOLEJ MELAYU) TUGAS MEMBACA BUKU SISWA SMA AMERIKA SERIKAT 1 KARANGAN / MINGGU 14 HALAMAN KETIK / MINGGU 44 HALAMAN / MINGGU 36 KARANGAN / TAHUN 504 HALAMAN KETIK / TAHUN 1584 HALAMAN / TAHUN 108 KARANGAN / 3 TAHUN 2016 HALAMAN KETIK / 4 TAHUN 6336 HALAMAN / 4 TAHUN Tabel 4 PERBANDINGAN LIMA KOMPONEN kelas 9 – 12 (S MA AS 4 tahun), di 1210 SMA, 1989 1 SASTRA 50 % 2 MENGARANG 28 % 3 TATABAHASA 10 % 4 BICARA 9 % 5 LAIN-LAIN 3 % (Arthur Applebee, Literature in the Secondary Schools -- Studies of Curriculum and Instruction in the United States, National Council of Teachers of English, Urbana, Illinois, 1993. Angka-angka merupakan hasil penelitian Applebee di 1210 SMA, 1989). BILAKAH MUSIBAH BESAR NOL BUKU & 15 KARANGAN, YANG DULU 25 BUKU & 108 KARANGAN ITU BERMULANYA? Tragedi Nol Buku ini berlangsung pada awal 1950. Ketika seluruh aparat pemerintahan sudah sepenuhnya di tangan sendiri, demi mengejar ketertinggalan sebagai bekas negara jajahan, yang mesti membangun jalan raya, bangunan, rumah sakit, jembatan, pertanian, perkebunan, kesehatan, perekonomian, maka yang diunggulkan dan disanjung adalah jurusan eksakta (teknik, kedokteran, pertanian, farmasi), ekonomi dan hukum. Wajib baca 25 buku sastra dan bimbingan menulis digunting habis, karena dipandang tidak perlu. Ini kesalahan peradaban luar biasa besar. Ketika saya perlihatkan hasil observasi (dalam tabel) itu kepada Menteri Wardiman Djojonegoro (1997), beliau terkejut. “Sudah demikian burukkah keadaannya?” tanyanya. “Ya,” jawab saya. APA TUJUAN MEMBACA 25 BUKU DAN MENULIS 108 KARANGAN? Kedua kewajiban itu tidak bertujuan menjadikan siswa sastrawan. Tidak. Kemampuan membaca dan menulis diperlukan di setiap profesi. Membaca buku sastra mengasah dan menumbuhkan budaya baca buku secara umum. Latihan menulis mempersiapkan orang mampu menulis di bidangnya masing-masing. Seorang Anak Baru Gede dari Padang pada tahun 1919 masuk sekolah SMA dagang menengah Prins Hendrik School di Batavia. Wajib baca buku sastra menyebabkannya ketagihan membaca, tapi dia lebih suka ekonomi. Dia melangkah ke samping, lalu jadi ekonom dan ahli koperasi. Namanya Hatta. Seorang siswa yang sebaya dia, di AMS Surabaya, juga adiksi buku. Kasur, kursi dan lantai kamarnya ditebari buku. Tapi dia lebih suka ilmu politik, sosial dan nasionalisme. Insinyur teknik ini melangkah ke samping dan jadi politikus. Namanya Soekarno. Sastra menanamkan rasa ketagihan membaca buku, yang berlangsung sampai siswa jadi dewasa. Rosihan Anwar (kini 87) tetap membaca 2 buku seminggu. Buku apa saja. “Jiwa saya merasa dahaga kalau saya tak baca buku,” kata beliau. Demikianlah rasa adiksi yang positif itu bertahan lebih dari setengah abad, bahkan seumur hidup. Latihan menulis 108 karangan membekali Hatta, Sukarno, Muhammad Natsir, Sjahrir, Haji Agus Salim, Muhammad Yamin, Tan Malaka dan kawan-kawan seangkatan mereka menulis buku di bidang masing-masing. Yamin jadi sastrawan, tapi juga penulis sejarah. Tragedi Nol Buku ini, yang sudah berlangsung 65 tahun lamanya, dengan mudah dapat dijelaskan kini akibatnya. Tamatan SMA Nol Buku sejak 1950 (saya tak sempat menghitung dengan teliti tapi pastilah meliputi beberapa juta orang), dengan rentang umur antara 35 – 70 tahun, mereka inilah yang kini jadi warga Indonesia terpelajar serta memegang posisi menentukan arah negara hari ini di seluruh strata, pemerintah dan swasta. Beberapa sebab mendasar amburadulnya Indonesia sekarang, mungkin sekali karena dalam fase pertumbuhan intelektual mereka, orang-orang itu membaca nol buku di sekolah. Mereka Generasi Nol Buku. Kita Generasi Nol Buku. Generasi yang Rabun Membaca dan Pincang Menulis. Kalau pun ada sebagian kecil dari kita yang banyak membaca dan mampu menulis, pasti itu dilakukan dengan ikhtiar sendiri di luar ruang sekolah (bukan dibimbing oleh sebuah sistem pendidikan nasional) atau karena beruntung mendapat kesempatan belajar ke luar negeri. DENGAN SANGAT SEDIKIT KEKECUALIAN, KITA SEMUA BERBEKAL NOL BUKU KETIKA BERSEKOLAH, TIDAK MENDAPAT KESEMPATAN UNTUK DITANAMKAN RASA KETAGIHAN MEMBACA BUKU, KECINTAAN PADA BUKU, KEINGINAN BERTANYA KEPADA BUKU DALAM SEMUA ASPEK KEHIDUPAN DAN KEBIASAAN MENGUNJUNGI PERPUSTAKAAN SEBAGAI TEMPAT MERUJUK SUMBER ILMU, DAN KONSEKWENSINYA MEMBIASAKAN MENULIS SEBAGAI EKSPRESI PERASAAN SERTA PERNYATAAN KECENDEKIAAN. Agaknya kita mengabaikan firman Allah paling awal yang diturunkan ke bumi, yaitu Kata paling nomor satu berupa perintah membaca kepada seluruh ummat manusia, dan mengajarkan penggunaan pena untuk menulis. Kita tidak cerdas menafsirkannya dan kita sangat terlambat di Indonesia memperbaikinya. Dalam mendiskusikan pengajaran sastra yang apresiatif dan kreatif, sebagaimana tujuan majelis kita ini, maka mari kita perbaiki bersama pengajaran membaca dan menulis di lembaga pendidikan kita, sejak dari SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi. CARA PANDANG (PARADIGMA) BARU DALAM MENGAJARKAN SASTRA Untuk meletakkan dasar yang kuat suatu program kegiatan mengatasi keterbelakangan kita, maka tentulah lebih dahulu ditetapkan cara pandang, paradigma baru sebagai acuan dalam membantu memperbaiki pengajaran membaca, mengarang dan apresiasi sastra di SMA kita. Ko-insidensi sangat menguntungkan yang terjadi adalah gelombang reformasi 1998, yang melepaskan Indonesia dari monolithisme politik 39 tahun Orde Lama dan Orde Baru, sehingga terbuka luaslah peluang bagi paradigma ini, yang tidak akan mungkin terbuka di kedua Orde terdahulu tersebut: 1. Siswa dibimbing memasuki sastra secara asyik, nikmat dan gembira. Pendekatannya bukan pendekatan keilmuan seperti memahami fisika, dan juga bukan pendekatan penghafalan seperti penghafalan tahun-tahun sejarah. Kita harus mampu membentuk citra sastra di hati siswa sebagai sesuatu yang menyenangkan, yang membuat mereka antusias, dan yang mereka rasa perlukan. 2. Siswa membaca langsung karya sastra puisi, cerita pendek, novel, drama dan esai, bukan melalui ringkasan. Karena itu, buku-buku yang disebut dalam kurikulum, mesti tersedia di perpustakaan sekolah. 3. Kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan, sehingga tidak terasa jadi beban, baik bagi siswa, maupun untuk guru. Mengarang mesti dirasakan sebagai ekspresi diri yang melegakan perasaan. Kiat atau metodanya harus ditemukan, dan itu sudah ditemukan, serta dipraktekkan 3 tahun dalam pelatihan MMAS. Cara kuno memberi judul klise seperti “Cita-citaku” atau “Pengalaman Berlibur di Rumah Nenek” mesti diganti dengan imajinasi yang kaya, yang sesuai dengan fantasi siswa. Mengarang bukan cuma menulis laporan, tapi menggugah imajinasi dan menuntun siswa berfikir. 4. Ketika membicarakan karya sastra, aneka-ragam tafsir harus dihargai. Tidak ada tafsir tunggal terhadap karya sastra. Guru harus terbuka terhadap pendapat siswa yang berbeda, sepanjang pendapat itu dikemukakan dalam disiplin berfikir yang logis. Dalam hal ini kelas sastra adalah kelas pendidikan demokrasi, ketika antara umur 16-19 tahun siswa mulai diperkenalkan kepada perbedaan pendapat dan belajar menghargai pendapat yang lain itu. Ebtanas dengan soal pilihan ganda untuk tafsir karya sastra adalah kekeliruan yang harus diperbaiki. 5. Pengetahuan tentang sastra (teori, definisi, sejarah) tidak utama dalam pengajaran sastra di SMU, cukup tersambil saja sebagai informasi sekunder ketika membicarakan karya sastra. Siswa jangan terus-terusan dibebani dengan hafalan teori dan definisi. Tatabahasa tidak lagi diberikan secara teoretis, tapi dicek penggunaannya dalam karangan siswa. 6. Pengajaran sastra mestilah menyemaikan nilai-nilai yang positif pada batin siswa, yang membekalinya menghadapi kenyataan kehidupan masa kini yang keras di masyarakat. Keimanan, kejujuran, ketertiban, pengorbanan, demokrasi, tanggung-jawab, pengendalian diri, kebersamaan, penghargaan pada nyawa manusia, optimisme, kerja keras, keberanian mengubah nasib --- adalah antara lain nilai-nilai luhur yang hancur di masa kini, terutama dalam 5 tahun terakhir ini. Karena itu, karya sastra yang relevan dengan nilai-nilai itulah yang harus kita pilih untuk disajikan kepada siswa, dan didiskusikan di kelas. Kemudian akan tumbuh kearifan siswa kepada manusia dan kehidupan, terasah sensitivitas estetiknya, dan terpupuk empatinya pada duka-derita nasib orang-orang yang malang. Rangkaian cara pandang segar atau paradigma anyar ini, baru akan benar-benar tercapai maksudnya apabila ditunjang oleh kurikulum yang sejalan dan serasi dengan paradigma ini. GERAKAN SASTRA MAJALAH HORISON, 1996 - SEKARANG Sehubungan dengan masalah di atas, majalah sastra Horison menggerakkan enam butir kegiatan gerakan sastra, dengan sasaran dunia pendidikan, yang bertujuan meningkatkan: budaya membaca buku, kemampuan mengarang, dan apresiasi sastra. Rangkaian aktivitas tersebut adalah sebagai berikut ini: NO KEGIATAN SASARAN PENDANAAN 1 Sisipan Kakilangit Siswa dan Guru Majalah Sastra Horison 2 Pelatihan MMAS Guru Depdiknas 3 Kegiatan SBSB Siswa dan Guru The Ford Foundation 4 Kegiatan SBMM Mahasiswa The Ford Foundation 5 LMKS dan LMCP Guru Depdiknas 6 SSSI Siswa The Ford Foundation Sisipan Kakilangit ditujukan untuk siswa SMA dan sederajat, dilaksanakan sejak 1996. Pelatihan MMAS (Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra) selama 7 hari untuk guru bahasa dan sastra SMA se-Indonesia, 1999-2008, diikuti k.l. 2.000 guru di 11 kota. Kegiatan SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya) mendatangkan sastrawan ke SMA dan Pondok Pesantren, membacakan karya dan berdiskusi dengan siswa serta guru. Dalam rentang masa 2000-2008 telah dikunjungi 213 sekolah di 164 kota, 31 provinsi, oleh 113 sastrawan dan 11 aktor/aktris, bertemu dengan k.l. 100.000 siswa dan guru. Mahasiswa Fakultas Sastra dan Fakultas Bahasa & Seni menjadi sasaran kegiatan SBMM (Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca), 2000-2002 di 9 universitas, dengan mendatangkan 18 sastrawan yang berbicara tentang bukunya. Guru distimulasi mengarang dengan Lomba Mengulas Karya Sastra dan Lomba Menulis Cerita Pendek, 2000-2008, diikuti oleh sekitar 300 guru setiap tahunnya. Untuk menampung energi kegiatan sastra siswa dibentuk 30 Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) di 30 kota (sejak 2002), berbasis di SMA. Rumah Puisi Berdasarkan pengalaman kegiatan sekitar 10 tahun di atas, yang memancar dari ibukota ke 164 kota Indonesia, maka saya dan isteri saya Ati, bercita-cita mencoba menghimpun kegiatan tersebut di sebuah titik lokasi, diberi nama Rumah Puisi, tanpa menghentikan atau mengganti kegiatan yang sudah terselenggara sejak 1998 hingga kini itu. Lokasi yang dipilih adalah kawasan pertemuan dua kaki gunung, yaitu Singgalang dan Merapi, yaitu Nagari Aie Angek, km 6 Jalan Raya Padang Panjang – Bukittinggi. Mohon didoakan, semoga peningkatan budaya baca buku, kemampuan menulis dan apresiasi sastra anak bangsa tercapai, sehingga terbentuk manusia terpelajar, bermartabat dan dinaungi keteduhan ridha Ilahi. Amin.*** Jakarta, Mei 2009. KUPU-KUPU DI DALAM BUKU Ketika duduk di setasiun bis, di gerbong kereta api, di ruang tunggu praktek dokter anak, di balai desa, kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku, dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang, Ketika berjalan sepanjang gang antara rak-rak panjang, di perpustakaan yang mengandung ratusan ribu buku dan cahaya lampunya terang benderang, kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua sibuk membaca dan menuliskan catatan, dan aku bertanya di perpustakaan negeri mana gerangan aku sekarang, Ketika bertandang di sebuah toko, warna-warni produk yang dipajang terbentang, orang-orang memborong itu barang dan mereka berdiri beraturan di depan tempat pembayaran, dan aku bertanya di toko buku negeri mana gerangan aku sekarang, Ketika singgah di sebuah rumah, kulihat ada anak kecil bertanya pada mamanya, dan mamanya tak bisa menjawab keinginan-tahu puterinya, kemudian katanya, “tunggu, tunggu, mama buka ensiklopedia dulu, yang tahu tentang kupu-kupu,” dan aku bertanya di rumah negeri mana gerangan aku sekarang, Agaknya inilah yang kita rindukan bersama, di setasiun bis dan ruang tunggu kereta-api negeri ini buku dibaca, di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku dibaca, di tempat penjualan buku laris dibeli, dan ensiklopedia yang terpajang di ruang tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca. Taufiq Ismail, 1996. [sumber: http://www.scribd.com/doc/16286178/Makalah-Sastra-Taufiksuharianto] lihat juga:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun