Mohon tunggu...
Yustisia Septiani
Yustisia Septiani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog / Muslim Mental Health

Refleksi setiap kehidupan. Kadang suka menulis, kadang suka fangirling.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membangun Kelekatan Keluarga dalam Menghadapi Rasa Berduka

6 Januari 2023   17:50 Diperbarui: 6 Januari 2023   22:00 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa duka karena kematian anggota keluarga adalah hal yang pasti akan dihadapi setiap manusia. Kematian anggota keluarga baik pasangan, anak, atau orangtua menjadi hal yang stresful dalam rentang waktu hidup seseorang. Terlebih jika anggota keluarga yang meninggal tersebut adalah tulang punggung, atau 'penyambung komunikasi' di dalam keluarga. 

Berkaca dari peristiwa yang menimpa keluarga Gubernur Jawa Barat,  atas meninggalnya putra sulung beliau tahun lalu, kejadian ini memunculkan hikmah yang beragam bagi orang yang memaknainya, di antaranya adalah hubungan keluarga yang selama ini mungkin tidak benar-benar kita rasakan kehadirannya. 

Salah satu yang menyedot perhatian saya adalah bagaimana keluarga Ridwan Kamil meregulasi rasa berduka yang begitu mendadak ini. 

Setelah saya melihat dari wawancara beliau di Mata Najwa, saya dapat menyimpulkan bahwa masing-masing dari mereka menjalankan peranya dengan baik di dalam keluarga.

Sayangnya, tidak semua keluarga seperti itu...

Kenyataannya, tidak banyak yang dapat menjalankan peran dalam keluarga dengan baik. Hal ini pula yang terjadi dalam realita kehidupan di sekitar kita. Khususnya permasalahan yang timbul selepas kematian anggota keluarga. 

Setelah fase pasca berduka, kesalahpahaman kerap terjadi. Terkadang ada yang kesulitan untuk memahami maksud antar anggota keluarga, alih-alih mengerti justru konflik-konflik yang kerap terjadi dapat membuat keadaan semakin buruk.

Seperti misalnya, orangtua yang menganggap anak "sulit" untuk diatur, sebaliknya anak yang menganggap orang tua tidak akan pernah dapat memahami kondisi dirinya. 

Pada saat seperti ini, jika masalah yang muncul tidak tertangani dengan baik, maka besar munculnya potensi masalah mood dan mental seseorang yang dapat berdampak pada produktivitasnya.

Berdasarkan pengalaman di rung laboratorium kehidupan, muncul berbagai masalah dengan kesehatan mental setelah kepergian anggota keluarganya. 

Kebanyakan yang terjadi adalah kesulitan untuk berkomunikasi dua arah dengan salah anggota keluarga yang lain, alih-alih memahami pesan yang disampaikan justru konflik tersebut menguras batin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun