Di saat perekonomian sedang tidak baik-baik saja, realitas pahit menghampiri banyak kalangan, meningkatnya angka pengangguran.
Perusahaan-perusahaan mulai menekan biaya operasional dengan berbagai cara, termasuk mengurangi jumlah karyawan.
Menurut laporan Kompas.id, pada Februari 2025 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang, mengalami peningkatan sekitar 83.000 orang dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Berita ini tentu menyedihkan. Sebagai seseorang yang masih bekerja, saya menyadari betapa rentannya posisi ini, bukan hanya bagi mereka yang sudah kehilangan pekerjaan, tetapi juga bagi kami yang masih “beruntung”.
Namun, hidup tidak berhenti. Justru di tengah ketidakpastian ini, kita belajar cara bertahan hidup dengan lebih cermat dan kreatif. Salah satu kekuatan yang sering kali diremehkan namun sebenarnya sangat vital adalah peran pasar tradisional.
Pasar tradisional menjadi tempat bertemunya logika ekonomi rakyat dengan naluri bertahan hidup. Di sinilah saya belajar bahwa bertahan hidup bukan hanya soal gaji bulanan, tetapi soal adaptasi. Banyak orang yang dulunya bekerja kantoran kini berjualan makanan rumahan, mengembangkan jasa laundry, hingga membuka kedai kopi di garasi rumah. Mereka tidak malu, karena kebutuhan hidup tidak bisa ditunda.
Lalu bagaimana kami yang masih bekerja menyiasati situasi ini?
Pertama, tentu dengan membangun cadangan finansial sedini mungkin. Tidak berlebihan, tetapi cukup untuk bertahan bila sewaktu-waktu gaji berhenti. Kedua, dengan meningkatkan kapasitas diri, baik dengan belajar keterampilan baru maupun memahami teknologi yang relevan dengan bidang kerja kita. Di era ini, stagnasi adalah musuh.
Ketiga, saya percaya bahwa kolaborasi menjadi kunci. Banyak teman saya yang kini menjalankan usaha sampingan secara kolektif. Dunia kerja saat ini tidak lagi berpijak hanya pada satu sumber penghasilan. Diversifikasi menjadi bentuk perlindungan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!