Gunungkidul, sebuah wilayah di selatan Yogyakarta yang dikenal akan keindahan alam karst dan bentang pantainya yang memesona, ternyata menyimpan sebuah kisah kuliner yang tak kalah menarik untuk dijelajahi.
Di balik tanahnya yang kering dan bebatuan kapur yang mendominasi, lahirlah sebuah makanan tradisional yang sarat makna dan sejarah, tiwul.
Tiwul bukan sekadar pangan, melainkan simbol perjuangan masyarakat Gunungkidul dalam menghadapi kerasnya alam. Lahan yang kekurangan air membuatnya sulit untuk ditanami. Di sinilah singkong, tanaman yang terkenal akan kemampuannya bertahan hidup di lahan kering, memainkan peran penting.
Singkong menjadi tanaman unggulan di Gunungkidul karena kondisi lahan yang kering dan karst membuatnya cocok untuk ditanam.
Gunungkidul memiliki karakteristik geografis yang didominasi perbukitan karst, yang sulit menyimpan air tanah, sehingga menjadikan lahan di sana kurang subur dan cenderung tandus.
Kondisi ini membuat singkong, yang tahan kekeringan dan dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, menjadi pilihan yang baik bagi petani di daerah ini.
Singkong kemudian diolah menjadi gaplek, singkong yang dikupas, dijemur hingga kering, lalu disimpan untuk diolah menjadi berbagai macam makanan.
Gunungkidul dikenal sebagai “surganya gaplek”. Hampir di setiap sudut desa, tumpukan gaplek menjadi pemandangan umum, seolah menjadi bukti kearifan lokal yang telah mengakar kuat.
Dari gaplek inilah tiwul berasal. Proses pembuatannya cukup sederhana, namun memerlukan ketelatenan, gaplek digiling menjadi tepung kasar, kemudian dikukus hingga matang. Tiwul umumnya disajikan bersama kelapa parut dan gula merah, memberikan rasa yang khas.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!