Mohon tunggu...
Yustisia Kristiana
Yustisia Kristiana Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

Mendokumentasikan catatan perjalanan dalam bentuk tulisan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Tenaga Kerja Sektor Pariwisata di Tengah Ancaman Resesi 2023

13 Januari 2023   10:00 Diperbarui: 1 Februari 2023   18:39 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Profesi di perhotelan (sumber: kemenparekraf.go.id)

Sektor pariwisata adalah salah satu sektor industri di Indonesia yang menunjang penyerapan tenaga kerja dan perekonomian lokal. 

Sektor ini memberikan kontribusi cukup besar terhadap perekonomian di Indonesia utamanya bagi perekonomian daerah yang menjadi destinasi pariwisata.

Pandemi COVID-19 telah menghantam industri pariwisata dan ekonomi kreatif di Indonesia yang berdampak pada lapangan pekerjaan di sektor pariwisata. Bukan hanya pandemi, perang antara Rusia dan Ukraina berperan signifikan dalam melemahkan perekonomian global yang berdampak langsung kepada ekonomi dunia serta sektor pariwisata, tenaga kerja pariwisata di Indonesia juga salah satu pihak yang terkena imbasnya.

Mengutip dari Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), perekonomian Indonesia yang mengandalkan pasar domestik masih cukup kuat walau dunia terancam resesi pada 2023, sehingga tenaga kerja pariwisata yang terdampak adalah tenaga kerja yang sebagian besar konsumennya adalah wisatawan mancanegara (wisman).

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengindentifikasi bahwa tenaga kerja di tour and travel operator inbound dan pemandu wisata (termasuk tour leader) merupakan subsektor pariwisata yang secara signifikan memiliki konsumen wisman, sehingga memiliki kecenderungan untuk sulit mengalihkan profil konsumennya dari wisman menjadi wisatawan nusantara (wisnus). Subsektor tenaga kerja pariwisata ini yang kemudian dianggap paling rentan terhadap potensi resesi 2023.

Tenaga kerja pada subsektor lainnya juga perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan Kementerian Ketenagakerjaan memproyeksikan bahwa hingga tahun 2025 kebutuhan tenaga kerja di bidang perhotelan termasuk restoran dan non-perhotelan akan turun, khususnya pada pekerjaan yang entry level seperti room attendant, front office attendant, waiter, dan steward.

Proyeksi tersebut memang memperlihatkan adanya penurunan, tetapi jumlah tenaga kerja yang bekerja di bidang pekerjaan tersebut masih dinilai cukup besar bila dibandingkan dengan jenis pekerjaan di bidang lainnya. Hal ini dikarenakan industri perhotelan adalah industri yang berdasarkan pada layanan, sehingga unsur SDM masih sangat berperan.

Sumber daya manusia (SDM) pariwisata merupakan aspek penting yang mendukung aktivitas pariwisata. Keberadaan SDM dapat memenuhi kebutuhan dan mewujudkan kepuasan wisatawan yang pada akhirnya berdampak positif terhadap ekonomi, sosal budaya, dan pelestarian lingkungan di kawasan wisata. Namun disayangkan, perhatian tentang SDM masih mendapat perhatian yang rendah, baik dalam proses perencanaan dan pengembangan pariwisata. 

Pariwisata dapat digambarkan seperti sebuah “organisasi” dan SDM adalah sumber daya yang sangat penting bagi organisasi. SDM di pariwisata sebagai organisasi yang berbasis jasa (service-based organization) merupakan faktor kunci dalam mewujudkan keberhasilan kinerja (Evans, Campbell, & Stonehouse, 2003).

Untuk menghadapi prediksi resesi global di tahun 2023, industri pariwisata ditantang untuk melakukan inovasi, adaptasi, dan kolaborasi agar dapat bertahan. 

Begitu pula bagi SDM pariwisata. Kemampuan yang baik untuk menghadapi tantangan tiga hal di atas sangat dibutuhkan karena saat ini perilaku wisatawan mulai berubah dibarengi dengan tren pariwisata yang telah bergeser.

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus dipersiapkan dan dilakukan oleh SDM pariwisata yaitu:

Pertama, mengembangkan kompetensi baru. Kompetensi baru diharapkan dapat digunakan mampu bertahan di tengah kondisi apapun. 

Diversifikasi profesi melalui reskilling dan upskilling mutlak dibutuhkan. Hal ini didapatkan dengan mengikuti pelatihan baik itu untuk peningkatkan keterampilan teknis maupun nonteknis.

Kedua, menumbuhkan loyalitas. Saat ini marak praktik quiet quitting di kalangan pekerja muda, yaitu bekerja secukupnya dan semampunya saja. 

Di tengah ancaman resesi, berkontribusi lebih kepada organisasi misalnya dengan bersedia melakukan pekerjaan di luar job description dapat dilakukan, dengan tetap memperhatikan work-life balance. Langkah ini juga sebagai cara untuk menunjukkan nilai yang dimiliki oleh pekerja kepada organisasi.

Ketiga, memahami posisi organisasi. Kondisi yang dihadapi di organisasi perlu diketahui agar pekerja memiliki kesiapan khususnya apabil prediksi resisi benar terjadi. Pekerja dapat mendukung organisasi untuk tetap bertahan dan mungkin saja berkembang di tengah ancaman resesi.  

Dari sisi Pemerintah, kiranya kebijakan terkait program kartu prakerja dan jaring pengaman sosial perlu dipertimbangkan agar menjadi salah satu solusi jaminan keamanan profesi bagi tenaga kerja pariwisata di Indonesia.

Referensi:

  • Evans, Campbell, & Stonehouse (2003).  Strategic Management for Travel & Tourism. UK: Routledge, Taylor & Francis Group.
  • Kementerian Ketenagakerjaan (2021). Proyeksi Kebutuhan Tenaga Kerja di Perusahan Berdasarkan Kompetensi pada Sektor Pariwisata pada Tahun 2022 – 2025.
  • Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2022). Mempersiapkan Tenaga Kerja Pariwisata Menghadapi “Hantu” Krisis Ekonomi 2023.
  • Ancaman Resesi 2023, Ekonom: Bisnis yang Mengandalkan Pasar Domestik Masih Aman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun