Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Poligami dan Korupsi

11 Mei 2013   12:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:45 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karena hujan turun sejak pagi, Johan dan Budi, dua sahabat karib itu memutuskan untuk bertemu saja di warung kopi mbak Atun. Hari itu adalah Harpitnas, lantaran hari Jum’at terjepit antara Kamis dan Sabtu, Kamis libur sementara Sabtu bukan hari kerja. Maka dua sekawan ini menetapkan sendiri bahwa hari Jum’at yang kejepit itu tak usah disiksa dengan hadir di tempat kerja.

“Tumben ini pagi-pagi sudah ngopi,” ujar mbak Atun yang tahu persis jadwal ngopi keduanya di sore hari.

“Kejepit mbak”

“Kejepit opo mas, enak atau sakit,” pancing mbak Atun bergurau.

“Kejepit hari, ya enak lah mbah ... apa lagi dingin-dingin begini, cocok to kalau kopi jahe,” sahut Johan sambil memesan.

Tanpa diminta untuk menyajikan apa, sebenarnya mbak Atun sudah tahu kegemaran Johan dan Budi. Johan biasanya memesan kopi jahe sementara Budi lebih senang menyeruput kopi susu.

“Lagi terkenal ini AF,” Johan nyeletuk untuk memulai perbincangan.

“Alex Fergusson kah, iya dia kok mundur ya?”.

“Bukan!”

“Oh, Aceng Fikri, yang mencalonkan diri jadi calon anggota legisltatif itu, kok nda malu ya.”

“Ah, bukan juga.”

“Pasti Awang Faroek kan, gubernur Kalimantan Timur yang status tersangkanya nda jelas, terus memimpin dan kini malah mencalonkan kembali untuk menjadi kandidat gubernur periode ke 2,”

“Ah, bukan juga,”.

Budi garuk-garuk kepala, menebak-nebak siapa yang dimaksudkan sebagai AF oleh Johan itu. Belum juga ketemu jawabnya, mbak Atun yang datang membawa pesanan mereka, ikut menyahut. “Saya tahu mas, Ahmad Fathanah kan?”

Johan mengangguk dan mbak Atun tersenyum senang. Dalam hati mengatakan ternyata infotainment berguna juga, apa yang disiarkan dan dilihat olehya bisa membuat dirinya nyambung berbicara dengan para pelanggannya.

“Mas kok nda berhenti-henti ya ini kabar kayak gini, sambung menyambung,” ujar mbak Atun memberi pendapat sambil membandingkan kabar yang kurang lebih serupa, menghiasi media selama berbulan-bulan, kabar tentang Eyang Subur.

“Iya mbak kabar tentang perempuan memang subur, berturut-turut kita diberi kabar tentang laki-laki yang subur sehingga butuh banyak wanita untuk titip benihnya,” sambung Budi yang mulai tune in dalam perbincangan.

“Apa ya kebetulan sih, kok dua-duanya bau korupsi. Yang Eyang subur itu dituduh korupsi dari duit plus istri dari murid-muridnya, sementara yang satu korupsi duit negara lalu nyari-nyari ‘istri’ lagi,” telaah mbak Atun yang sebenarnya memang cerdas, tapi nasibnya kurang baik lantaran baru punya anak tapi malah ditinggal kabur suaminya.

“Mantap ini mbak Atun, ternyata bukan hanya pengemar gossip tapi juga analis berita yang hebat,” puji Johan.

Mbak Atun hanya mesam-mesem saja. Lalu bertanya pada Johan “Mas, apa ada hubungan antara poligami dan korupsi?”

“Kata MUI tidak ada hubungan mbak. Nggak benar kalau poligami itu mendorong orang untuk korupsi. Bahwa banyak yang poligami tapi kemudian korupsi itu cerita lain, karena banyak orang yang poligami ternyata tidak korupsi,” jawab Johan.

“Maksudnya tidak itu, tidak mau korupsi atau tak bisa korupsi karena tak ada kesempatan atau kedudukan?” tanya Budi.

“Lah..gak ngerti akulah Bud, wong aku nggak poligami. Jangankan poligami baru melirik cewek saja istriku sudah mata besar”, jawab Johan sekenanya.

“Menurut saya mas, memang tidak benar poligami mendorong korupsi. Yang benar itu korupsi mendorong poligami,” ujar mbak Atun.

“Nah, ini memang pinter mbak Atun ini, kok pakai nanya-nanya segala sih mbak?” sahut Budi.

“Saya setuju sama pendapat sampaian, kalau korupsi yang kemudian membuat seseorang terutama laki-laki jadi banyak uang, memang bakal membuat dia berpikir mampu untuk menikahi lebih dari satu perempuan. Atau ya sekurang-kurangnya walau tidak dinikahi, ya dihidupilah. Jadi istri simpanan begitu,” sambung Johan.

“Memang begitu laki-laki,” kata mbak Atun singkat.

“Wah, mbak nggak semua laki-laki begitu, contohnya saya dan Budi ini”, sahut Johan cepat.

Mbak Atun tertawa kecil lalu berkata “Itu karena sampeyan berdua belum korupsi dan banyak uangnya.”

Johan dan Budi sama-sama tergelak.

“Nda usah jauh-jauh, contohnya suami saya saja. Baru punya sedikit uang sisa saja sudah minggat nda jelas kemana, pergi nda pamit dan nggak pulang-pulang. Masih lumayan AF itu, tiga istrinya masih dijaga dan dinafkahi baik-baik. Yang main di luar nggak menganggu hubungan di dalam. Kalau suami saya sih bajingan memang. Saya ya mas, mau juga kalau AF itu suka sama saya,” kata mbak Atun keceplosan.

Kali ini Johan dan Budi tersenyum simpul. Dalam hati mereka berdua mengutuk AF yang mematikan pasaran laki-laki lainnya karena keroyalan dan kebaikan hatinya, memberi dan berbagi kekayaan untuk wanita-wanita yang cantik jelita.

Pondok Wiraguna, 11 Mei 2013

@yustinus_esha

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun