Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kuasa Uang

4 Agustus 2014   04:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:30 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa yang bisa mendekatkan seseorang dengan kekuasaan?.  Ada banyak hal atau upaya yang bisa dilakukan, bisa dengan kepandaian, ketekunan, kesetiaan, namun diluar semua itu uanglah yang bisa mendekatkan seseorang dengan kekuasaan secara cepat.

Saya jadi teringat pada sebuah perbincangan yang kebetulan waktu itu hadir 2 calon legislatif di tingkat propinsi dan 1 orang di tingkat kota. Perbicangan diawali dengan berapa dana yang disiapkan oleh para calon untuk menghadapi pemilu legislatif. Salah satu caleg DPRD Propinsi menjawab tidak sampai 50 juta, sementara caleg DPRD kota menjawab sekitar 200 juta, mendengar jawaban itu, caleg DPRD propinsi yang melontarkan pertanyaan sontak berkata “Kalo begitu kalian berdua tidak akan jadi”.

Kemudian dia melanjutkan dengan menerangkan bahwa untuk duduk di kursi DPRD Propinsi sekurangnya butuh dana segar sekitar 700 juta, sementara untuk tingkat kabupaten/kota butuh sekitar 350 juta. “Kita tidak perlu munafik, dalam kondisi masyarakat seperti sekarang ini, semua memang butuh uang yang besar”, katanya lagi.
Dan begitu perhitungan suara pemilu legislatif usai, sang caleg yang menyarankan untuk punya dana segar yang besar itu ternyata terpilih. Dan dari bisik-bisik konon jumlah uang yang dikeluarkan jauh diatas 700 juta. Sementara dua calon lainnya tidak berhasil mendapatkan suara yang dibutuhkan untuk memperoleh kursi.

Sang caleg terpilih ini memang bukan jenis manusia yang munafik sehingga sadar dan mengakui kalau mandat dari rakyat di daerah pemilihan yang masyarakatnya tidak terlalu dikenalnya itu adalah karena bantuan uang. “Saya membagikan uang menjelang hari H, bukan di masa sosialisasi atau kampanye”, katanya tanpa tedeng aling-aling.  Menurutnya apa yang dilakukan memang tidak sesuai dengan ideal demokrasi. “Kita masih butuh 2 sampai 3 pemilu lagi untuk membuat uang tak lagi laku sebagai alat merayu pilihan” tegasnya mencari pembenaran.

Cerita tentang uang yang kemudian mendekatkan seseorang dengan kekuasaan memang bukan barang asing di Indonesia. Ada kisah seorang pengusaha yang tak pernah bicara politik tiba-tiba menjadi pengurus di tingkat nasional, DPP sebagai balas jasa atas tunjangan dana yang diberikan untuk sebuah partai.  Atau pertarungan untuk memperebutkan kursi ketua sebuah partai yang selalu diwarnai oleh bau-bau uang, siapa yang punya banyak uang dialah yang punya kemungkinan terbesar untuk menang.

Mereka yang punya uang dan punya syahwat kekuasaan yang besar, namun sulit diakomodasi oleh partai yang sudah ada, maka akan memilih untuk mendirikan partai sendiri. Partai baru untuk kemudian berjuang mendapat dukungan masyarakat agar kemudian bisa mencalonkan diri sebagai presiden.

Di tingkatan lain, mereka yang ingin jadi bupati, walikota, gubernur namun tak punya basis partai yang kuat maka harus membeli perahu dari partai-partai yang mempunyai kursi di dewan perwakilan rakyat. Konon harga bayar perahu yang kerap disebut sebagai mahar bisa bernilai puluhan milyard.

Tak heran jika pencalonan Jokowi dan Ahok sebagai cagub dan cawagub DKI Jakarta kemudian mengagetkan banyak orang. Betapa tidak, keduanya bukan kader tingkat tinggi dari PDIP dan Gerindra. Keduanya juga bukan tokoh nasional, meski Ahok pernah menjadi anggota DPR RI. Dan yang jelas keduanya tidak melamar ke partai pengusung atau pendukung sehingga bisa diminta mahar.

Jokowi kemudian lebih mengejutkan lagi karena dicalonkan oleh PDIP sebagai calon presiden. Jokowi bukan tokoh elit PDIP, tak ada trah politik di PDIP dan tak terbaca transaksi besar antara Jokowi dan PDIP sehingga Megawati rela melepaskan trah Sukarno dari jalur kursi presiden RI.

Ketika Jokwo bergerilya dari satu partai ke partai untuk memperoleh dukungan atas pencalonannya oleh PDIP, berkali-kali Jokowi menegaskan bahwa dukungan untuk pencalonannya harus tanpa syarat. Jelas pernyataan ini berlawanan dengan apa yang ada dalam benak masyarakat terkait dengan pembentukan koalisi. Tak heran jika kemudian ada pengamat politik dari universitas ternama menyatakan bahwa Jokowi pembohong. Karena menurutnya tak mungkin ada koalisi jika tidak disertai deal-deal tertentu. Apa yang disebut koalisi tanpa syarat jelas-jelas sarat dengan kebohongan.

Begitulah kenyataan yang harus diterima, ada sebuah keyakinan di publik bahwa tak ada kekuasaan yang akan direngkuh jika tidak karena uang besar. Uang yang harus dikeluarkan oleh seseorang, entah dari kantong sendiri atau kantong orang lain yang memback-upnya. Soal cukong mencukongi ini kemudian muncullah sosok-sosok goodfather yang dianggap punya pengaruh besar dalam mendudukkan orang di posisi ini atau itu karena uangnya.
Kedekatan uang dan kekuasaan nampaknya memang sudah berurat berakar. Perlu usaha besar untuk mengikisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun