Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kopi Se-kopi-kopi-nya

23 Mei 2015   14:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:41 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gaya hidup secara sederhana bisa dirumuskan sebagai persepsi dan perilaku terkait dengan budaya konsumsi dan identitas kultural sebuah masyarakat dalam kurun tertentu.Dalam hubungan dengan kopi, menarik untuk melihat perkembangan gaya hidup dan budaya minum kopi di Samarinda.Perbincangan tentang kopi di Samarinda menyeruak ketika Tonny Wahid menulis tentangWarung Kopi Ko’ Abun di salah satu flight magazine Singapura.

Warung Kopi Pelabuhan milik Ko’ Abun segera menjadi perbincangan di media sosial. Dan sekelompok netizen muda kemudian menjadikan Warung Kopi Ko’ Abun kerap jadi tempat untuk bertemu. Namun sebenarnya warung kopi Ko’ Abun sudah lama populer di kelompok masyarakat tertentu, terutama yang beraktivitas di sekitar pelabuhan Samarinda.

Warung kopi Ko’ Abun adalah tempat para pekerja, pengusaha, perantara atau apapun yang terkait dengan aktifitas usaha di sekitar pelabuhan Samarinda untuk ngobrol, bercengkrama, menghabiskan waktu dan membicarakan pekerjaan maupun peluang-peluang proyek serta pendapatan.

Dalam diskursus soal minum kopi, meski selalu ramai sesungguhnya warung kopi Ko’ Abun adalah ruang umum yang tidak menumbuhkan identitas kultural tentang kopi apa yang diminum dan bagaimana cara minumnya. Aktivitas minum kopi ibarat minum di rumahan, yang penting ada kopi bubuk, kemudian dijerang (tubruk) dan disajikan dengan variasi kental atau encer, manis atau pahit, dengan atau tanpa susu.

Minum kopi barangkali sesuatu yang biasa, karena hampir semua warung makan menyajikannya. Pun di rumah-rumah, minum kopi semakin mudah karena perkembangan kopi industri. Kopi giling yang biasa dijual di warung-warung terguling karena hadirnya kopi sachet yang lebih praktis. Tinggal menumpah isi sachet ke dalam gelas dan tuang air panas, kopi langsung tersaji. Pilihan kopinya juga bermacam-macam, mulai kopi hitam, creamer atau mix, white coffee hingga cappucino.

Budaya minum kopi dengan cara baru dihadirkan oleh munculnya caffee yang umumnya adalah franchise entah lokal maupun luar negeri. Sama dengan kopi di hotel besar, kopi diseduh menggunakan mesin espresso. Namun berbeda dengan hotel, caffee menyajikan pilihan kopi yang lebih banyak. Kehadiran caffee memunculkan generasi peminum kopi yang baru, meski kebanyakan yang dipesan adalah kopi blended.

Hampir semua caffee menyertakan manual brewing dalam daftar cara menyeduh kopi, mulai dari vietnam drips, pout over, syphon, french press dan lain-lain. Tapi manual brewing untuk single origin coffee umumnya hanya tambahan, bukan menu utama. Bahkan di beberapa caffee, alat untuk manual brewing seolah hanya sebagai sebuah pajangan.

Tumbuhnya kopi espresso membawa angin perubahan gaya hidup terkait kopi. Semakin banyak orang yang sengaja meluangkan waktu untuk minum kopi di luar rumah. Minum kopi bukan lagi urusan rumahan. Kopi olahan yang disajikan oleh Starbuck, Excelso, Coffee Bean, Loppe Coffee, Black canyon, Illy Coffee dan lain sebagainya jelas sulit dibuat sendiri di rumah. Minum kopi mulai dipahami bukan sekedar apa yang diminum, tetapi bagaimana kopi itu diproses, disajikan dan diminum. Kopi dan minum kopi menjadi sesuatu yang komplek. Kompleksitas ini mendorong penyuka kopi untuk mencari informasi. Edukasi soal kopipun dilakukan baik oleh penggila maupun penjual kopi.

Orang sebenarnya sudah mengenal Kopi Toraja atau Kopi Aceh, tapi pengetahuan tentang single origin coffee semakin mendalam dengan munculnya caffee-caffee. Kini banyak yang sudah fasih menyebut Kalosi Toraja, Robusta Makassar, Kopi Wanena, Kopi Sidikalang, Kopi Gayo, Kopi Mandailing, Kopi Malabar, Kopi Lintong, Kopi Bajawa, Kopi Wamena, Kopi Ijen hingga Brazillian Santos. Minum kopi mulai memperoleh disposisi baru.

Di akhir 2014 dan awal 2015, Samarinda memasuki babak baru bentuk konsumsi dan disposisi kultural soal minum kopi. Identitas kopi speciality dan single origin kopi mulai nampak. Hal ini ditandai dengan munculnya kedai kopi yang menyajikan sajian kopi secara eklusif dengan cara manual brewing. Salah satu yang saya kenal adalah Kedai Kopi Nusantara di Jalan Juanda, Samarinda. Di kedai ini saya pernah berbincang panjang tentang berbagai metode manual brewing dengan Agus, penggagas dan pemiliknya.

Di dunia maya sebenarnya perbincangan tentang manual brewing mulai terangkat sejak tahun 2012. Praktek manual brewing rumahan juga mulai ada meski terbatas pada french press atau dripper flat bottom. Hal mana bisa dipahami karena ketersediaan alat dan biji kopi belum terlalu banyak. Namun kini biji kopi dan alat-alat untuk menyeduh secara manual mudah didapat.

Meski terhitung lambat, namun perkembangan dunia minum kopi di Samarinda cukup menjanjikan dan mengembirakan. Minum kopi se kopi-kopi nya sudah bisa dinikmati dengan cukup mudah. Single origin coffee dan manual brewing kini menjadi pilihan dari beberapa kedai. Yang sudah saya coba selain kedai Kopi Nusantara adalah Kedai Kopi Malabar Mountains Garden di Grand Mahakam, jalan Siradj Salman dan Kedai Kopi Aceh Gayo di Segiri Grosir lantai 3. Kedai Kopi Aceh Gayo seperti namanya menyajikan kopi Gayo dari Takengon dengan berbagai varian.

Munculnya kedai kopi single origin dan manual brewing membawa angin segar yang bakal mengerogoti model caffee dengan interior cozy bertabur wifi dan colokan laptop atau smartphone. Dengan tampilan sederhana, kedai kopi manual brewing tidak menjadikan wifi dan colokan sebagai magnet utamanya. Kedai-kedai ini mengundang pelanggan untuk minum dan menikmati kopi, bukan numpang duduk, berselancara di dunia maya atau men-charge smartphonenya yang low batt. Entah sadar atau tidak, kedai-kedai ini mengembalikan kopi kepada filosofi sejatinya yaitu silahturahmi, ngobrol dan menyeruput kopi bukan untuk melepas dahaga melainkan menikmati harum aromanya, manis, pahit dan kecut rasanya.

Saya adalah pengemar kopi tetapi bukan penikmat kopi sejati. Namun dengan hadirnya kedai single origin coffee yang menyajikan dengan metode manual brewing, membuat saya mulai menyeruput kopi tanpa gula lagi. Sebab gula akan menciderai rasa kopi karena manisnya akan menghilangkan semua sensasi rasa yang dibawa dan terkandung di dalamnya.

@yustinus_esha

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun